(
Kompas, Minggu, 02 Maret 2003)
Penggalan dari novel
Fateless (Illinois: Northwestern UP, 1992, hlm183-191) karya Imre Kertész, pemenang Nobel Sastra 2002.
----------------
SETELAH beberapa langkah maju ke depan, tampak bangunan yang sangat kukenal. Di situ kami tinggal. Masih berdiri utuh seluruhnya dalam bentuk yang bagus. Begitu melewati gerbang depan, aroma lama itu tak berubah. Lift ringkih dengan pintu berkisi-kisi dan bekas jejak kaki kekuningan menyambutku. Berjalan sedikit ke atas sempat kubalas sapa seorang penghuni apartemen yang sedang turun. Itu kebiasaan bertetangga yang menghangatkan. Sampai di lantai tempat tinggal kami, aku pencet bel. Cepat sekali pintu itu dibuka tapi hanya sedikit, terganjal oleh kunci rantai. Itu agak mengherankanku. Seingatku dulu tak ada rantai pencegah di pintu. Wajah tak kukenal muncul di celah itu. Seorang perempuan dengan tulang pipi menonjol, kuning, setengah baya, menatapku. Ia tanya aku cari siapa, dan kujawab, "Aku tinggal di sini." "Tidak mungkin," jawabnya, "kamilah yang tinggal di sini." Dia sudah hampir menutup pintu tapi tak bisa, karena kutahan dengan kakiku. Kucoba menjelaskan padanya, "Pasti ada salah pengertian. Terakhir kali dulu saya pergi meninggalkan tempat ini, dan saya yakin kami sungguh-sungguh tinggal di sini." Dia sebaliknya terus mendesak bahwa justru akulah yang keliru. Sebab, sudah sangat jelas mereka memang tinggal di situ. Dengan gerak kepala yang sopan dan simpatik, melembutkan otot muka, ia berusaha menutup pintu. Aku masih berusaha mencegahnya. Lalu, aku coba melongok nomor rumah untuk memastikan bahwa memang bukan aku yang keliru. Tapi, dia berhasil menutup pintu. Pasti kakiku tadi terselip lepas dari celah itu. Ia menutup pintu dengan keras dan menguncinya dua kali.