Saya menemukan cerpen ini di Republika edisi 18 Juni 2000. Sayang, saya tak tahu persis siapa penerjemahnya. Mungkin pihak redaksi sendiri.
Taruhan
oleh Anton Chekov
Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan-percakapan yang menarik di sana.
Di antara hal-hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman tersebut. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.
''Aku tak sependapat dengan kalian,'' kata sang tuan rumah. ''Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahan-lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seorang yang mencabut nyawamu selama bertahun-tahun?''
Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatnya, ia berkata, ''hukuman mati dan penjara seumur hidup sama-sama amoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.''
''Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!'' Sang bankir menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara.
''Kalau kau serius,'' sahut sang pengacara, ''aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.''
''Lima belas tahun. Jadi!'' seru sang bankir. ''Tuan-tuan, aku mempertaruhkan dua juta!'' ''Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebebasanku,'' kata sang pengacara.
Maka taruhan edan-edanan itu jadilah.
Dan kini sang bankir berjalan mondar-mandir mengenang ini semua dan bertanya pada dirinya sendiri ''kenapa kulakukan taruhan ini? Si pengacara itu kehilangan lima belas tahun kehidupannya dan aku membuang dua juta. Apakah ini akan meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesia-siaan belaka. Di pihakku itu semata-mata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si pengacara, semata-mata karena kerakusan akan harta.''
Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu. Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang bankir.
Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang dapat ditarik dari catatan-catatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak anggur dan tembakau.
Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orang-orang yang mengawasinya mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum, dan berbaring saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marah-marah. Ia tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia menulis dalam waktu lama kemudian merobek-robek semuanya di pagi hari. Lebih dari sekali terdengar ia menangis.
Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang tahanan dengan edan-edanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmu-ilmu alam, kemudian melahap karya-karya Byron dan Shakespeare. Ia mengirim catatan-catatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa risalah filsafat atau teologi.
Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir 'pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku nanti harus membayarnya dua juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku bangkrut selamanya...' Lima belas tahun silam uangnya berjuta-juta, tapi sekarang ia bahkan takut bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang ataukah utang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang berisiko, dan kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya, perlahan-lahan telah mengantar bisnisnya kepada kehancuran.
''Taruhan terkutuk itu,'' bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam keputusasaan. ''Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri semuanya. Satu-satunya cara melepaskan diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.''
Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan beku yang menderu-deru di luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah. Di kebun suasananya gelap dan dingin. Ketika sedang mendekati paviliun, ia memanggil-manggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca.
''Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku,'' pikir laki-laki tua itu, ''kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.''
Di dalam kegelapan ia meraba-raba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki aula paviliun. Tak ada seorang pun di sana. Terlihat dipan tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samar-samar di sudut ruangan.
Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang menyala remang-remang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya punggung, rambut, dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Buku-buku yang terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja.
Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir mengetuk-ngetuk jendela dengan jarinya, tapi sang tahanan tidak melakukan sebuah gerakan pun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hati-hati merobek segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit.
Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan. Wajahnya kuning pucat karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorang pun yang melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecil-kecil.
''Manusia malang,'' batin sang bankir, ''dia sedang tertidur dan barangkali sedang melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak wajar. Tapi, pertama-tama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini''.
Sang bankir pun mengambil kertas itu dan membacanya:''Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebelum kutinggalkan ruangan ini dan melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai sanksinya, kunyatakan kepadamu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan semua yang disebut oleh buku-bukumu sebagai rahmat di dunia ini.''
''Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi. Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orang-orang, tapi dalam buku-bukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagu-lagu, berburu rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanita-wanita....''
''Dan wanita-wanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongeng-dongeng yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.''
''Dalam buku-bukumu kuterjunkan diriku ke dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai keajaiban, membakar kota-kota sampai rata dengan tanah, mengajarkan agama-agama baru, menaklukkan seluruh negara....Dan aku memandang hina buku-bukumu, memandang hina semua rahmat duniawi dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayang-bayang. Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan, sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis terbakar bersama bola bumi ini. Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Demikian pula aku heran padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak dua juta itu yang pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian akan batallah persetujuan itu.''
Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan ia pun mulai menangis. Ia keluar dari paviliun itu.
Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlari-lari dan melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan tahanannya telah melepaskan diri.
No comments:
Post a Comment