Wednesday, June 06, 2012

I Wish I Were Raden Saleh


Sekitar 40 lukisan cat minyak dan sketsa karya maestro Raden Saleh dipamerkan di Galeri Nasional selama 3-17 Juni 2012, buka pukul 10.00-18.00 WIB. Pameran yang dikuratori Dr. Werner Kraus dan Irina Vogelsan ini juga disertai pertunjukan multimedia mengenai kehidupan dan karya sang seniman selama di Eropa dan Jerman serta diskusi. Lihat jadwal lengkapnya di situs Galeri Nasional.

Sebagai penghormatan untuknya, saya tampilkan salah satu karya saya, sebuah olahan dari lukisan potret Raden Saleh karya Johann Carl Baehr (cat minyak di atas kanvas) yang dikoleksi Museum of Foreign Art Riga (kini Art Museum Riga Bourse) di Riga, Latvia.

I Wish I Were Raden Saleh by Kurniawan

Tuesday, July 26, 2011

Arsip: Dari Kaligrafi ke Seni Rupa


Belakangan ini Seni Rupa Indonesia disemarakkan oleh berbagai pameran kaligrafi Islam. Perdebatan masalah syariat tentang batas-batas seni Islam dianggap sudah selesai. Kaligrafi pun bergerak ke seni rupa.

Monday, September 20, 2010

Kita Membaca Karena Lupa

Mengapa kita membaca sebuah buku? Bahkan berkali-kali membaca buku yang sama? Menurut pengalaman James Collins, itu terjadi karena kita lupa. Demikian pendapatnya dalam esai "The Plot Escapes Me" di The New York Times, 17 September 17 2010:

One answer is that we read for the aesthetic and literary pleasure we experience while reading. The pleasure — or intended pleasure — of novels is obvious, but it is no less true that we read nonfiction for the immediate satisfaction it provides. The acquisition of knowledge, while you are acquiring it, can be intensely engrossing and stimulating, and a well-constructed argument is a beautiful thing. But that kind of pleasure is transient. When we read a serious book, we want to learn something, we want it to change us, and it hardly seems possible for that to happen if its fugitive content passes through us like light through glass.

Thursday, July 29, 2010

Tabung Gas Paling Berbahaya di Dunia

Hidup di Indonesia memang mengerikan. Tidak keluar rumah saja orang bisa mati. Itulah yang dialami korban-korban ledakan tabung melon, tabung LPG ukuran tiga kilogram, yang beberapa pekan terakhir ini membetot perhatian kita.

Pemerintah akan segera menarik peredaran tabung gas yang tak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), yang diperkirakan sebanyak 9 juta. Tapi, langkah ini sudah terlambat. Korban sudah berjatuhan cukup banyak setelah hampir setiap hari ledakan tabung gas itu terjadi.

Setelah penarikan itu, apa masalahnya selesai?

Tidak bagi tetangga saya. Mereka sudah terlanjur trauma. Keluarga dengan dua orang anak itu kini praktis tak berani menyentuh tabung gas. Sang ibu belanja makan dan minum ke warung. Bahkan, untuk sekadar menyeduh kopi untuk suaminya, dia membeli air panas di warung juga. Kadangkala mereka anak beranak makan bakso bersama di tukang bakso yang parkir di tikungan.

Pemerintah tampaknya tak mampu memenuhi hak paling dasar bagi rakyatnya: rasa aman. Bahkan, rasa aman di dapur dan rumah kita sendiri pun tidak bisa mereka dijamin. Lantas, apa saja yang dilakukan SBY dan para menterinya itu?

Searching...

Custom Search