Friday, November 11, 2005

Taufik dan Acep Iwan Saidi

Saya menerima sepucuk email tertanggal 28 Oktober 2005 dari seseorang bernama Taufik. Dia ingin menghubungi Acep Iwan Saidi, sastrawan Bandung, yang menulis soal Nietzsche di Pikiran Rakyat. Sayangnya, Bung Taufik, saya tak dapat membantu Anda menghubungkan dengan Bung Acep. Ada baiknya Anda menghubungi redaksi Pikiran Rakyat. Terima kasih.

Puisi Miranda Risang Ayu

Miranda mengemail saya dan mengatakan bahwa puisi Doa Perempuan di situs Sajak-sajak Tanah Air yang diambil dari Republika Online (8/11/1998) itu keliru pemenggalannya. Dia lantas mengirimkan naskah aslinya "yang benar pemenggalan kalimatnya, sehingga memiliki ritme yang lebih mudah diikuti dan enak dibaca, dan benar penulisan huruf kecil dan huruf kapitalnya."


Terima kasih, Puan Miranda. Pembaca, silahkan Anda baca naskah Doa Perempuan itu.

Mengapa Mudik?

Berbeda dari teman-temannya kostnya yang lain, setiap lebaran Triana, mahasiswi semester terakhir sebuah universitas negeri di Bandung, mudik ke Kampung Melayu, Jakarta. Jakarta baginya bukanlah sebuah ruang yang bermakna kampung halaman seperti dalam lagu Ibu Sud. Ia tak punya ikatan dan kenangan apapun dengan kota besar itu. "Saya berasumsi bahwa kampung halaman menjadi penting sejak mitos masyarakat agraris (darat) diciptakan Belanda, dan ini terutama terjadi di Jawa. Tanah kelahiran menjadi pusaka," kata Acep Iwan Saidi, kritikus sastra kelahiran Bogor yang merayakan lebaran di kampung istrinya di Pangandaran. Dan, saya tidak mudik tahun ini :). Selamat mudik dan selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan batin. Tabik!

Thursday, May 05, 2005

Puisi Tersedih Neruda

XX



Aku dapat menulis puisi tersedih dari segalanya malam ini.

Menulis, misalkan: "Malam penuh bintang,

dan bintang-bintang, biru, menggigil di kejauhan."

Angin malam berpusing di langit dan bernyanyi.

Aku dapat menulis puisi tersedih dari segalanya malam ini.

Aku mencintainya, dan kadang dia mencintaiku juga.

Pada malam seperti ini, aku peluk dia dalam rengkuhku.

Kucium dia berkali-kali di bawah langit tak terbatas.

Dia mencintaiku, kadang aku mencintainya.

Bagaimana bisa aku tak sangat mencintainya, mata yang tenang?

Aku dapat menulis puisi tersedih dari segalanya malam ini.

Berpikir aku tak memilikinya. Merasa aku kehilangan dia.

Mendengar keluasan malam, lebih luas tanpa dia.

Dan puisi itu jatuh ke jiwa seperti embun ke rumputan.

Apa yang terjadi hingga cintaku tak mampu menjaganya.

Malam penuh bintang dan dia tak bersamaku.

Begitulah. Nun, seseorang bernyanyi. Nun.

Jiwaku lenyap tanpanya.

Andai dia dekat, mataku mencarinya.

Hatiku mencarinya dan dia tak bersamaku.

Malam yang sama memutihkan pepohonan yang sama.

Kami, kami dulu, kami kini tak sama lagi.

Aku tak lagi mencintainya, sungguh, tapi betapa besar cintaku padanya.

Suaraku mengejar angin untuk menyentuh telinganya.

Milik orang lain. Dia akan menjadi milik orang lain. Seperti dia sekali waktu milik ciumanku.

Suaranya, tubuh ringannya. Mata tak terbatasnya.

Aku tak lagi mencintainya, sungguh, tapi barangkali aku mencintainya.

Cinta itu begitu pendek dan lupa begitu panjang.

Karena pada malam seperti ini aku memeluknya di rengkuhku,

jiwaku lenyap tanpanya.

Walau ini mungkin luka terakhir yang dibuatnya padaku,

dan ini mungkin puisi terakhir kubuat untuknya.

[Dinukil dari Pablo Neruda, Veinte poemas de amor]

Sunday, March 27, 2005

Fakta Ekonomi Multinasional

Ada 7.258 perusahaan multinasional di dunia pada 1969. Tiga puluh tahun berikutnya, pada 2000, jumlahnya menjadi 63.000 lebih dan menguasai 80 persen industri dunia. Tapi, apa itu perusahaan multinasional? Kebanyakan orang Amerika akan bilang: perusahaan manufaktur besar AS dengan subsidi asing. Tapi, kata Peter F. Drucker, itu keliru. Hanya 185 dari 500 perusahaan multinasional terbesar dunia yang punya kantor pusat di AS (Uni Eropa punya 126, Jepang 108). Dan perusahaan multinasional tumbuh lebih cepat di luar AS, khususnya Jepang, Mexico, dan Brazil.

Searching...

Custom Search