Friday, August 07, 2009

Rendra, Sang Kepala Suku Naga

Sepuluh tahun lalu saya berbincang-bincang semalam suntuk dengan Rendra di padepokan Bengkel Teater di Citayam, Depok, Jawa Barat. Saat itu dia sedang menyiapkan pementasan drama Suku Naga, dua puluh tiga tahun setelah karyanya itu dipentaskan pertama kali di TIM.

Itulah terakhir kali saya ngobrol begitu lama dengannya, dari menjelang malam hingga Subuh menjelang. Kami berbincang-bincang ke mana-mana. Dia bicara dari teater sampai puisi, dari politik sampai ekonomi, dari sejarah tahu-tempe hingga kebudayaan. Sesekali kami makan pisang goreng yang dihidangkan Ken Zuraida.


Thursday, August 06, 2009

Bahasa Indonesia: Politik Bahasa untuk Kini dan Esok

Ini sebuah catatan lama dari tahun 1998. Kongres Bahasa sepakat untuk membuat sebuah undang-undang bahasa. Tahun ini konon undang-undang tersebut akan lahir. Apa dampaknya nanti masih belum pasti.

---------------------

(ADIL edisi 05/68/1998)

Bahasa Indonesia: Politik Bahasa untuk Kini dan Esok

Kongres Bahasa VII sudah usai. Setumpuk agenda belum selesai. Masih berkutat pada persoalan lama.

''Marilah kita menggunakan bahasa secara lugas. Tidak perlu membungkus kenyataan pahit dengan istilah-istilah yang mengaburkan kenyataan,'' ucap Presiden Habibie pada pembukaan Kongres VII Bahasa Indonesia di Istana Negara, Senin (26/10).

Wednesday, August 05, 2009

Mbah Surip, I Love U Full...

Foto Tempointeraktif.com
Mbah Surip, alias Urip Ariyanto, meninggal dunia tepat di puncak karir musiknya. Dia meninggal Selasa lalu ketika lagu "Tak Gendong" yang didagangkan sebagai nada sambung pribadi (ring back tone) mencatat rekor dengan melewati angka Rp 2 miliar. Mengapa penyanyi dengan musikalitas pas-pasan ini begitu meroket namanya tiba-tiba?

Baca laporan khususnya di Tempointeraktif.

Tanpa Nasib oleh Imre Kertész

(Kompas, Minggu, 02 Maret 2003)

Penggalan dari novel Fateless (Illinois: Northwestern UP, 1992, hlm183-191) karya Imre Kertész, pemenang Nobel Sastra 2002.

----------------

SETELAH beberapa langkah maju ke depan, tampak bangunan yang sangat kukenal. Di situ kami tinggal. Masih berdiri utuh seluruhnya dalam bentuk yang bagus. Begitu melewati gerbang depan, aroma lama itu tak berubah. Lift ringkih dengan pintu berkisi-kisi dan bekas jejak kaki kekuningan menyambutku. Berjalan sedikit ke atas sempat kubalas sapa seorang penghuni apartemen yang sedang turun. Itu kebiasaan bertetangga yang menghangatkan. Sampai di lantai tempat tinggal kami, aku pencet bel. Cepat sekali pintu itu dibuka tapi hanya sedikit, terganjal oleh kunci rantai. Itu agak mengherankanku. Seingatku dulu tak ada rantai pencegah di pintu. Wajah tak kukenal muncul di celah itu. Seorang perempuan dengan tulang pipi menonjol, kuning, setengah baya, menatapku. Ia tanya aku cari siapa, dan kujawab, "Aku tinggal di sini." "Tidak mungkin," jawabnya, "kamilah yang tinggal di sini." Dia sudah hampir menutup pintu tapi tak bisa, karena kutahan dengan kakiku. Kucoba menjelaskan padanya, "Pasti ada salah pengertian. Terakhir kali dulu saya pergi meninggalkan tempat ini, dan saya yakin kami sungguh-sungguh tinggal di sini." Dia sebaliknya terus mendesak bahwa justru akulah yang keliru. Sebab, sudah sangat jelas mereka memang tinggal di situ. Dengan gerak kepala yang sopan dan simpatik, melembutkan otot muka, ia berusaha menutup pintu. Aku masih berusaha mencegahnya. Lalu, aku coba melongok nomor rumah untuk memastikan bahwa memang bukan aku yang keliru. Tapi, dia berhasil menutup pintu. Pasti kakiku tadi terselip lepas dari celah itu. Ia menutup pintu dengan keras dan menguncinya dua kali.

Tuesday, August 04, 2009

Paku Kuntilanak Porno?



Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganggap Paku Kuntilanak, film horor yang dibintangi Dewi Persik, sebagai film semiporno dan menuntut kepada pemerintah supaya menarik peredaran film yang diproduksi Maxima tersebut. "Film itu sudah keterlaluan," ujar Said Budairy, pengurus MUI.

Saya belum pernah menonton film itu. Jadi tidak bisa mengomentarinya. Anda sudah?

Beritanya di Detikcom

Ayatollah Khamenei Endorses Vote to President-elect

"In the Name of God, the Merciful, the Compassionate

Thank God Who once more made Iran honored and helped our smart people to create one more endurable epic. June 12, 2009 became a golden page in the book of Iran's destiny line by line of which written by the grand will and firm resolve of our people and safeguarded by their vigilance and perseverance.

Searching...

Custom Search