Thursday, August 01, 2002

Oscar Wilde dan Raksasa yang Rakus

Oscar Fingal O'Flahertie Wills Wilde nama lengkap Oscar Wilde (1854-1900). Dia lahir di Dublin sebagai putra dokter bedah Sir William Wilde dan penulis Jane Francesca Elgee (terkenal sebagai Speranza). Di tempat kuliahnya, xford University, Inggris, dia menampakkan asketisme fanatik dengan cara berpakaiannya yang dandi dan menjauhi olahraga dan kekerasan. Sebelum dia menunjukkan perasaan homoseksualnya pada 1886, Wilde tergolong pengarang kelas dua. Dia pernah dipenjara lewat pasal antihomoseksual pada 1895 dan sudah bankrut sebelum dia meninggalkan penjara itu.

Sejumlah karyanya dapat dibaca di Bibliomania. Informasi di internet mengenai Wilde dapat ditemui di Showgate.com yang menghimpun link berguna mengenai dirinya, Oscariana membahas kehidupan Wilde, Landow's Homepage memuat fitur studi sastra atas karya Wilde, The Story of Oscar Wilde, Oscar Wilde's 1895 Martyrdom, Newsletter tentang Wilde, Galeri Foto




Raksasa yang Rakus

SETIAP petang setelah pulang dari sekolah anak-anak itu pergi bermain di kebun Raksasa. Kebunnya indah dengan rumput yang lembut. Di sana-sini di atas rerumputan muncul bunga-bunga yang cantik bagaikan bintang-gemintang, dan di kebun itu juga tmbuh dua belas pohon persik yang pada musim semi merekah menjadi putik-putik yang ranum berwarna ungu dan kelabu kebiru-biruan dan pada musim gugur berbuah lebat. Burung-burung bertengger di pohon-pohon dan bernyanyi sangat merdu sehingga anak-anak kadang-kadang berhenti bermain untuk mendengarkan nyanyian, "Betapa bahagia kita di sini," kata anak yang satu kepada yang lainnya.

Pada suatu hari Raksasa itu pulang. Dia habis berkunjung ke kawannya Raksasa Cornwal dan tinggal di situ selama tujuh tahun. Setelah tujuh tahun berlalu dia telah mengatakan apa yang harus dikatakannya, sebab percakapan mereka terbatas dan dia telah memutusan untuk pulang ke purinya sendiri. Ketika dia sampai dia melihat anak-anak itu tengah bermain di kebunnya.

"Apa yang kalian lakukan di situ?" teriaknya dengan suara nyaring sekali dan anak-anak itu lari berhamburan.

"Kebunku adalah kebunku," kata Raksasa itu," dan semua harus tahu itu, dan tidak ada orang yang boleh bermain di situ, kecuali aku." Sesudah itu dia membangun tembok yang tinggi di sekeliling kebunnya dan memasang sebuah papan pengumuman :

Dilarang masuk tanpa izin

Dia Raksasa yang rakus.

Anak-anak yang malang itu tak punya tempat bermain yang lain. Mereka mencoba bermain di jalanan tetapi jalan-jalan itu sangat banyak debunya dan penuh batu-bata yang keras dan mereka tak suka bermain di situ. Mereka biasa keluyuran mengitari tembok setelah pelajaran mereka usai dan mereka bercakap-cakap tentang kebun yang indah di dalam. "Kita bahagia di sana," kata anak yang satu kepada yang lainnya.

Kemudia musim semi tiba dan seluruh wilayah itu bermunculan putik-putik mungil dan burung-burung kecil. Hanya di kebun Raksasa Rakus itu masih tetap musim dingin. Burung-burung tidak mau bernyanyi di kebun itu karena di situ tidak ada anak-anak, dan pohon-pohon lupa bersemi. Suatu kecil sekuntum bunga yang molek muncul dari rumput tetapi setelah dia melihat papan pengumuman itu dia merasa begitu kasihan kepada anak-anak itu sehingga dia menyelinap kembali ke dalam tanah untuk tidur. Yang merasa di situ hanyalah Salju dan Embun Beku. "Musim semi telah melupakan kebun ini," teriak mereka," dan kita akan tinggal di sini sepanjang tahun. Salju meyelimuti rumput dengan jubah putihnya yang besar, dan Embun Beku menyepuh semua pepohonan dengan warna perak. Lalu mereka mengundang Angin Utara untuk tinggal bersama mereka, dan dia ini datang. Dia megenakan baju bulu, dan sepanjang hari dia meraung-raung mengelilingi, dan menghempas jembangan cerobong asap hingga berjatuhan. "Suatu tempat yang menyenangkan," katanya, kita harus mengundang Hujan Batu datang kemari." Dan Hujan Batu itu datang. Setiap hari selama tiga jam dia melempari atap puri itu sehingga kebanyakan gentingnya pecah-pecah, dan dia berlari-lari sekencang-kencangnya mengelilingi kebun. Dia mengenakan pakaian kelabu dan nafasnya bagaikan es.

"Aku tidak mengerti mengapa Musim Semi terlambat datang," kata Raksasa Rakus itu, ketika dia sedang duduk di dekat jendela dan memandang ke luar ke arah kebunnya yang putih dan dingin. "Aku harap cuaca akan segera berubah."

Tetapi Musim Semi tidak juga kunjung datang, demikian pula Musim Panas. Musim gugur menganugerahi setiap kebun dengan buah-buah kencana tetapi kebun Raksasa itu tidak mendapat apa-apa. "Dia terlalu rakus," katanya. Maka di situ selalu Musim Dingin, dan Angin Utara dan Hujan Batu dan Embun terus menari-nari di antara pepohonan.

Pada suatu pagi ketika Raksasa itu sedang berbaring di ranjangnya dia mendengar sekelumit alunan musik yang merdu. Kedengarannya begitu indah sehingga mengira bahwa para pemusik Kerajaan sedang lewat di jalan. Tetapi itu ternyata cuma suara sekor burung linnet mungil yang sedang bernyanyi di luar jendelanya dan terdengar olehnya bagaikan musik yang paling merdu di dunia. Dan Hujan Batu itu berhenti menari-nari di atas kepalanya, dan Angin Utara berhenti meraung-raung, dan dari tingkap yang terbuka datang berhembus wewangian yang semerbak. "Aku kira Musim Semi juga akhirnya," kata Raksasa dan dia melompat dari ranjangnya untuk menmandang ke luar.

Apakah yang dilihatnya?

Dia melihat suatu pemandangan yang sangat menakjubkan. Melalui sebuah lubang kecil di tembok dia melihat anak-anak menyelinap masuk ke dalam kebun dan mereka duduk di cabang pepohonan. Di setiap pohon dia melihat seorang anak kecil. Dan pohon-pohon itu begitu gembira setelah melihat anak-anak itu kembali dan pohon-pohon itu menyelimuti anak-anak itu putik-putik bunga dan dengan lembut pohon-pohon itu melambai-lambaikan lengan-lengan mereka di atas kepala anak-anak. Burung-burung terbang berputar-putar sambil berkicau dengan riang dan melalui rumput yang hijau bunga-bunga memandang ke atas dan tertawa. Sungguh suatu pemandangan yang sangat indah, hanya di salah satu sudut masih ada Musim Dingin. Itu merupakan sudur yang paling jauh di kebun, dan di situ ada seorang anak laki-laki kecil sedang berdiri. Dia begitu kecil sehingga tangannya tidak dapat meraih cabang pohon, dan dia terus berjalan berputar-ptar di situ sambil menangsi dengan sedihnya. Pohon yang malang itu masih tertutup oleh embun beku dan salju, dan Anign Utara masih terus mengamuk dan meraung-raung di atasnya. "Naiklah, anak mungil," kata pohon itu dan pohon itu melenturkan cabang-cabangnya serendah-rendahnya tetapi anak laki-laki itu masih terlalu kecil.

Dan tatkala Raksasa itu memandang ke luar hatinya meleleh. "Betapa rakusnya aku selama ini!" katanya. "sekarang aku tahu mengapa Musim Semi terlambat datang ke mari. Akan aku taruh anak laki-laki kecil yang malang itu di pucuk pohon dan setelah itu aku akan robohkan tembok itu, dan kebunku akan menjadi taman permainan anak-anak untuk selama-lamanya." Dia betul-betul merasa sangat menyesal atas apa yang telah dilakukannya selama ini.

Lalu dia merangkak turun dan membuka pintu depan dengan sangat perlahan-lahan dan kemudian dia masuk ke dalam kebun. Akan tetapi tatkala anak-anak melihatnya mereka begitu ketakutan sehingga mereka semua lari tunggang-langgang, dan kebun itu menjadi musim dingin lagi. Hanya anak laki-laki kecil itu yang tidak lari, sebab matanya banyak digenangi air mata sehingga dia tidak melihat Raksasa itu datang menghampiri. Raksasa itu mengendap-endap di belakang anak laki-laki itu dan mengangkatnya dengan lemah-lembut dan lalu menaruhnya di dalam pohon. Dan pohon itu dengan serentak bersemi dipenuhi putik-putik dan burung-burung berdatangan dan bernyanyi di dalam pohon, dan anak laki-laki yang kecil mungil merentangkan kedua lengannya dan dia kemudian memeluk leher Raksasa itu dan menciumnya. Dan anak-anak yang lainnya setelah tahu bahwa Raksasa itu sudah tidak garang lagi, mereka berlari kembali dan bersama mereka Musim Semi pun tiba. "Kebun itu menjadi milikmu sekarang, anak-anak mungil," kata Raksasa itu, dan setelah mengambil sebuah kapak yang besar dia lalu merobohkan tembok itu. Dan ketika orang-orang pada jam duabelas mulai berpergian ke pasar mereka mendapati Raksasa itu sedang bermain bersama anak-anak itu di sebuah kebun paling indah yang pernah mereka lihat selama ini.

Mereka bermain sepanjang hari dan ketika malam tiba mereka datang menemui Raksasa itu mengucapkan selamat tinggal. "Tetapi di mana kawanmu yang kecil-mungil itu, yang kutaruh di dalam pohon," katanya. Raksasa itu paling sayang kepadanya karena dia telah menciumnya.

"Entahlah, jawab anak-anak itu. "Dia pergi meninggalkan kami."

"Kalian harus katakan kepadanya dia besok mesti datang ke mari," kata Raksasa itu. Tetapi anak-anak itu berkata bahwa mereka tidak tahu di mana anak kecil itu tinggal, dan mereka sebelumnya pun tak pernah melihatnya dan Raksasa itu merasa sedih sekali.

Setiap petang manakala sekolah sudah usai anak-anak itu datang untuk bermain-main dengan Raksasa itu. Akan tetapi anak laki-laki mungil yang sangat disayangi oleh Raksasa itu tidak pernah kelihatan lagi. Raksasa itu sangat ramah kepada anak-anak itu semuanya, namun dia sangat merindukan sahabatnya kecilnya yang pertama dan dia selalu berbicara tentang dia. "Aku sangat ingin sekali bertemu dengan dia," dia biasa berkata seperti itu.

Tahun-tahun berlalu, dan Raksasa itu sudah jadi sangat tua dan renta. Dia tidak bisa lagi bermain-main seperti biasa, dia cuma duduk saja di atas sebuah kursi bersandaran sambil memperhatikan permainan mereka, dan mengagumi kebunnya. "Aku punya banyak bunga yang indah," katanya tetapi anak-anak adalah bunga-bunga yang paling indah dari semuanya."

Pada suatu si musim dingin ketika sedang berpakaian dia memandang ke luar dari jendela. Sekarang dia tidak membenci lagi Musim Dingin, sebab dia adalah Musim Semi yang sedang tidur dan bunga-bunga pun sedang istirahat.

Sekonyong-konyong dia menggosok-gosok matanya keheranan dan, dia memandang terus memandang. Yang dilihatnya sungguh-sungguh luar biasa. Di satu sudut yang paling jauh di kebun itu ada sebuah pohon yang seluruhnya tertutup oleh putik-putik berwarna putih yang indah. Cabang-cabangnya semuanya berwarna kencana keemasan dan buah-buahnya yang berwarna perak bergantungan di cabang-cabang itu, dan di bawahnya tampak berdiri anak laki-laki kecil yang disayanginya itu.

Dengan penuh sukacita Raksasa itu menuruni tangga dan melangkah memasuki kebun. Dia bergegas melintasi rerumputan dan berjalan menghampiri anak itu. Setelah dia berada sangat dekat dengan anak itu, mukanya menjadi merah karena marah dan katanya, "Siapakah yang telah berani melukaimu ?" Sebab di atas telapak kedua tangan terdapat bekas dua tusukan paku dan bekas tusukan paku di atas kakinya yang kecil itu.

"Siapakah yang telah berani melukaimu ? teriak Raksasa itu, "Katakan, agar aku dapat membinasakannya dengan pedangku."

"Tidak perlu," kata anak kecil itu, "sebab ini luka cinta."

"Siapa kau sebenarnya?" kata Raksasa itu, dan rasa takjub yang ganjil tersa menerpa dirinya, dan dia pun berlutut di depan anak kecil itu.

Dan anak kecil itu tersenyum kepada Raksasa itu, dan berkata kepadanya, "Kau pernah mengajakku sekali bermain di kebunmu, dan sekarang kau harus ikut dengan aku ke kebunku, yang bernama Surga."

Dan ketika anak-anak itu keesokan petangnya berlarian memasuki kebun, mereka menemukan Raksasa itu sudah terbaring mati di bawah pohon, seluruh tubuhnya berselimutkan putik-putik bunga berwarna putih.***

CATATAN: diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar
Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 01 Agustus 2002

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search