Tuesday, September 24, 2002

Profil Cindhil G Maryanto dan Puisinya

Profil. Cindhil adalah panggilan akrab Gunawan Maryanto. Sastrawan dan pekerja teater ini kini aktif sebagai Manajer Program Teater Garasi di Yogyakarta. Dia terlibat menulis naskah teater berbau puisi, Waktu Batu, Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu, bersama Andre Nurlatif dan Ugoran Prasad yang dipentaskan di Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad, Alun-alun Utara, Yogyakarta, 2-4 Juli 2002, yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin.


Dia juga aktif dunia maya. Sejumlah tulisannya dia letakkan di BlockNot Newsletter. Tiga cerita pendeknya dimuat di Cybersastra: "Kenapa Lelaki Itu Demikian Mencintai Hujan?", "Masih Tentang Lelaki Yang Demikian Mencintai Hujan", dan "Suatu Pagi dan Burung yang Melintas Sendiri."

Muram. Chindil Gunawan Maryanto mengirim beberapa puisinya yang bernada muram dan menggali legenda-legenda Jawa, seperti tokoh Surtikanti. Dia juga punya sebuah puisi panjang, tanpa judul, terdiri dari 16 bait.

CATATAN: Hak cipta pada penulisnya.






1
ada yang coba meraih kabut: meski takut,
udara masih terasa abu-abu: kau tahu,
juga kembali kurapal namamu, Maumaya!

2
di mana kuburmu biar kutabur cerita biru,
lalu rombongan itu pulang dan meratapi namamu:
lewat tangis dan duka cita yang dalam.

3
terbawa haru sampailah ke laut: tanyamu,
seekor camar tergelepar juga ombak berdebar,
di mana hendak kutanam kenang
agar aku bisa sedikit lebih tenang.

4
air matamu, Maumaya, sampai di kota ini,
konon itu kesedihan abadi hingga tanah basah mendengar luka-luka merah.
berderak angin di bebukitan mengurak segala sajak: retak-retak.

5
aku nangis untuk kesekian kali, Balqis,
kolam itu memantulkan paha-pahamu,
aku onani untuk kesekian kali!

6
lewat malam hutan-hutan kera, aku telah sampai, kupeluk tubuhmu memastikan
cintamu: masuklah ke dalam api, bakarlah sepi ke setiap hati, katakan aku
telah sendiri.

7
ia mengemas cemas,
membakar sajak,
ia kirim sandi ke penjuru sunyi,
dan suntuk menanti suaranya kembali.
sejenak ia lupa pada sajak,
pada kanak-kanak yang tak nampak,
pada gelak yang serak.

8
selamat malam ya kabut, takut dan selimut,
aku benci mimpi yang bergambar dirimu,
sebuah batu telah terlempar dari sana.

9
ia menggambar pohon terlintang di depan langit kuning,
besoknya ia mencari matahari, konon sudah dua hari,
juga kenapa pohon itu menggelimpang.

10
penjahat itu bernama kenangan, Maumaya,
ayo kita tangkap dan bunuh dia.
kuhadang di pinggir malam ia lolos dua kali.
ya, mungkin bersamamu ia tak kan lolos lagi.

11
lagu sedih memaksaku sedih,
lalu bau tubuhmu menyengat lewat.
lagu sedih memaksaku sedih,
lalu secangkir kopi dingin.
kali ini tak ada datang bahkan bulan atau bintang

12
an, membaca wajahmu yang terakhir
aku ingat penari pucat menembangkan bait paling pahit dari epos itu
(konon tembang paling sakit ikut terbakar bersama hutan itu!)
aku hanya bisa percaya sambil terus menyangsikannya:
kembang-kembang sepatu di samping langgar tetahun yang silam.

13
an, genggam erat rosariomu,
aku pilih kembali
setelah telpon berulangkali hanya kudengar sembunyimu
semoga bukan lantaran hujan aku kedinginan saat kusaksikan triyangga
ngawu-awu sudarma

14
bersamamu aku cemaskan malam,
getar beberapa lembar daun  muda,
dan keringatmu yang menyengat
an, lemparkan sampurmu,
usap baru klinting dengan puting susumu
tarikan kekalahan itu!
tarikan kekalahan itu!

15
Lalu ia pergi begitu saja setelah tak mengatakan apa-apa. Bagaimana aku
memaknai pertemuan ini selain tanda tanya. Lihat, bintang jatuh tak jauh
dari mimpi. Poranda sudah tanda-tanda!
Namanya: Maumaya. Ia tinggal di seberang kenangan. Ia sudah kembali ke
sana, baru saja, sesaat yang lalu dan tak meninggalkan apa-apa. Selain
batu-batu tentu!

16
Wangi jauh-jauh dari bunga, menjemput semacam maut. Siapa merenggut takut
ini dari tempatnya? Arum tubuhmu sehabis mandi pukul lima sore menghantarku
sampai di sini:
Masuk ke kota di mana kautinggalkan aku semenit yang lalu dan aku harus
kembali berkenalan dengan langitnya, dengan segala yang memayunginya. Di
jejalanan masih berserak sajak-sajak: tak sempat terurak.
An, lelayumu tak begitu menggetarkan rerumputan yang di atasnya
layang-layang pada terbang.

tegalkenongo, sept 2000


LAGU ULANG TAHUN
:duapuluhdua lilin menyala

Sebulat purnama Kunti mencampakkan sampurnya
di bingkai jendela
"Aku berhenti!"
Sunyi riuh
Gairah itu memadam dan tersengal
Menggoda kenangan batu dan bunga-bunga

garasi, april 1998

YTC SURTIKANTI

Aku lari ke tepian hari
Menanti, tepatnya sembunyi!

Ya, telah kususun nama bagi kota-kota yang terbakar
Juga buat cinta kita yang cabar
tegal kenongo, oktober 1999

CERITA TENTANG KUCING

1
Ada kucing datang siang-siang ke rumahku. Bapak marah-marah. Kucing
dibuang di pinggir desa. Aku menangis. Di cermin aku lihat aku tak
menangis. Aku menangis. Aku dengar ngeongnya. Ia tak lapar. Tapi takut
terkapar tanpa kabar.

2
Ia menatapku. Ada nanah di matanya. Tanda mata dari malam.

3
Panggil aku! Cakarmu di pintu kamar. Aku takut malam-malam kedinginan.

4
Kapan-kapan akan kukembalikan kesedihanmu, kerinduanmu, dan kemanjaanmu.
Potretmu masih kupajang dan senantiasa coba kukenang perjalanan malam kita.

5
Mengendap di genting rumah kita, mengutip percakapan-percakapan kita, dan
menyusunnya kembali menjadi doa pengantar pagi dan kematian seekor betina
yang habis melahirkan lima ekor cemeng kerempeng.

6
Ada yang mirip aku ketika coba kugambar wajahku dimatamu. Kering, terbang
dan terharu di kaki almari.

Garasi, Desember 1999

CERITA TENTANG AYAH

1.
Ayah, bawa masuk ia kemari, tunjukkan semua kenangan-kenangan kita, sebuah
rumah dengan hamparan tanah basah, beberapa petak sawah dan malam-malam
yang berisi kunang-kunang, juga mimpi-mimpi keluarga mungkin ada baiknya
kembali dibuka supaya udara pagi dan kepak burung-burung muda mewarnai
baju-baju kita yang telah usang.

2.
Ayah, pada sepimu aku mencoba pulang, sekedar menyapa dan menyapu daun
jambu yang bertebar, pada sepimu juga aku mencoba singgah, mungkin untuk
beberapa malam, menggugah kerinduan yang membatu di kaki senja kuning yang
kau gambar dengan pohon melintang tanpa daun tanpa gunung dan tanpa
burung-burung, aku menguap dan jatuh tertidur.

3.
Ayah, wayang-wayang kertas itu kembali kumainkan untuk menjaga malam
berbulan dendam dan kucing lapar di seberang jalan, wayang-wayang kertas
dari sudut sekolah dasar di mana semuanya masih bertelanjang penuh tanah
dan nanah.
Garasi, Januari 2000

MATAHARI, KATAMU, MENYENGAT SIANG INI!

Kau bercerita, tepatnya mengeluh:
Mimpi-mimpiku lebam-lebam,
juga bayang-bayang malam,...

Matahari, katamu, menyengat siang ini!
tegal kenongo, maret 2000

Seorang perempuan terbunuh di tepi sawah
(Tak ada darah, cuma kata-kata yang merah)
Ada yang terlupa dan tercecer di jalan basah:
Semacam catatan dan sedikit resah
tegal kenongo, maret 2000

Seorang perempuan menyanyi di bingkai jendela
(Bukan nada, cuma kata-kata yang berirama)
Sesungguhnya:
Ia tak menanti siapa-siapa
tegal kenongo, maret 2000

SEMACAM PERCAKAPAN DI MEJA KECIL
:semacam kisah cinta

Selamat sore,
kau bilang: Ini tadi hari yang bunga
-telah melenting semacam hening-
aku serasa bahagia!
Pacarku, di meja pertanyaan itu masih tergeletak
: tak bergerak
tegal kenongo, maret 2000

CAFÉ GALAKSI, SUATU HARI
:kisah cinta yang biasa-biasa saja

Dibawa hujan kenangan itu mengejan
Jangan bilang kita tak pernah punya apa-apa
Ya, kita telah sampai di sini tanpa perlu mengerti
Apa itu ciuman dan kerinduan
(tegal kenongo, maret 2000)

Ia berkacamata hitam, perempuan itu, menangkup kesedihannya. Ia pucat, aku
tahu, lewat gemetar tangannya. "Aku telah menjahitnya!"
(siang hari, seorang perempuan muda yang keluar dari toko alat jahit,
Malioboro 1 April 2000)

Aku tembakkan M-16 yang barusan aku beli. Siang retak karenanya. Juga
malam, aku akan memburunya!
(siang hari, seorang bocah yang keluar dari toko dengan senapan mainan,
Malioboro Mall 1 April 2000)

"Aku hanya sekedar bersenang-senang, Nak. Menempuh perjalanan jauh dan
kembali dengan badan berpeluh. Tak ada yang kubawa pulang selain rasa
senang bisa pulang. Aku bukan pedagang. Aku hanya sekedar
bersenang-senang!"
(siang hari, seorang perempuan tua dalam bis kota, Beringharjo 1 April
2000)

Bulan kalah malam ini jika kau begitu dingin dengan angin putih yang
berhembus dari bibirmu. Lirih kau telah mengusir bulan itu pergi dari
malamku. Hanya hujan yang kau berikan.

(dini hari, seorang gadis manis yang merokok di warung lesehan,
Tugu 2 April 2000)

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search