Wednesday, October 06, 2004

Pemenang, Pergantian

Senin (4/10/2004) sore itu, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (profil) - Jusuf Kalla (profil) sebagai pemenang pemilu dan menetapkan keduanya sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Sementara, situasi di sekitar Jalan Kebagusan IV No. 45, kediaman Presiden Megawati, ramai dihadiri para wartawan yang menunggu pernyataan Mega. Tak ada pernyataan hingga keesokan harinya. Tapi, semuanya berjalan tenang, tanpa gejolak, meski jauh hari sejumlah orang berpikir akan terjadi gejolak hebat bila Mega kalah. Suatu keadaan yang jauh berbeda kala Gus Dur "dijatuhkan" oleh MPR pada Senin (23/7/2001). Saya mencatat kejatuhan itu dalam sebuah fitur pendek "Malam Terpanjang di Dunia" di bawah ini.




Malam Terpanjang di Dunia

KATA Opa, malam ini nggak boleh kelayapan. Pesan pendek lewat pesan pendek (short message service) itu mampir di handphone saya di sore hari Minggu (22/7/2001) yang mendebarkan. Sore hari kala semua orang menunggu apa yang akan terjadi di gedung MPR dan apa yang akan dilakukan seorang kiai presiden bernama Gus Dur.

Pengirimnya Medy, seorang perempuan penyair muda. Dia tak mengirim puisi yang barangkali sangat diperlukan untuk menenangkan batin saat ini, tapi dia mengirim kekhawatiran.

Kekhawatiran memang tengah merambah langit kota Jakarta. Kala malam beranjak, banyak orang menatap televisi lekat-lekat, menyaksikan detik demi detik laporan yang disampaikan penyiar-penyiar yang enak dipandang itu. Mereka menunggu sebuah ketidakpastian. Mereka menduga bagaimana jadinya negeri ini nanti. Akankah kekisruhan terjadi lagi sebagaimana sekian tahun terakhir menggilas negeri ini?

Mungkin, semua kekhawatiran itu akan terjadi. Tapi, hidup harus terus berjalan, bukan? Maka, angkutan kota terus bergerak mencari penumpang. Mbok-mbok pedagang sayur masih mengangkut barang dagangannya dari Pasar Kebayoran ke Pasar Cililitan.

Di Bali, semuanya biasa saja. Warga Kristiani tetap menjalankan misa sorenya di gereja-gereja. "Ah biar saja, Mas, di Jakarta yang ribut, kita di sini biasa saja. Mungkin tidak hanya saya, hampir seluruh warga sudah apatis dengan kelakukan elite politik," ujar Endro Heryanto seusai melakukan ibadah di gereja sekitar Renon, Denpasar, seperti ditulis Antara.

Publik mungkin tak terlalu peduli pada apa yang terjadi. Tapi, mereka memindahkan kegelisahan ke layar kaca. Menongkrongi penggalan-penggalan berita yang mengalir dari sore itu hingga dini hari.

Esoknya, entah berapa ratus orang bangun kesiangan di Jakarta. Sebagian memutuskan tak berangkat kerja. Pesan yang dikirimnya ke kantor yang dititipkan ke operator telepon bunyinya sederhana: Karena khawatir Jakarta rusuh, saya mohon ijin tak masuk kerja.

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search