Thursday, September 26, 1996

Diskursus Nasionalisme: Artefak Masa Lalu di Panggung Masa Kini

oleh KURNIAWAN[i]

Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?

(Rendra)[ii]


PENGALAMAN sejarah dan kegugupan menatap masa depan, nun dimana sebuah bendera WTO berkibar, mengusik tidur nyenyak negara makmur dan menggelisahkan negara-negara yang baru bersusah payah mendorong laju perekonomiannya. Dalam matra politik, refleksi terhadap negara dan bangsa dalam konteks dunia mendapat tempat dalam agenda tiap negara, tak terkecuali Indonesia. Mereka dipaksa kembali merenungkan dirinya, sejarahnya, dan cita-citanya. Nasionalisme sebagai sebuah tema muncul kembali dalam kaitannya dengan banyak aspek, baik ekonomi, politik, kebudayaan, maupun pertahanan. Dalam diskursus nasionalisme, muncul pro dan kontra terhadap kekuatan dan relevansinya untuk masa ini yang membuahkan sikap pesimisme dan optimisme. Tulisan ini mencoba menelusuri kembali makna nasionalisme dalam lintasan sejarah (terutama Indonesia) untuk selanjutnya melihat sejauh mana relevasnsinya bagi Indonesia sekarang.



Secara semantik, istilah "nasionalisme" sebenarnya agak membingungkan, mengingat penggunaannya yang bersifat luas yang mengacu pada makna yang berbeda-beda. Istilah ini sering berkait dengan istilah bangsa (nation), kebangsaan (nationality), dan negara (state). Namun secara etimologis terlihat bahwa nasionalisme berakar pada bangsa dan meluas pada (ke)bangsa(an). Menurut Louis L. Snyder istilah "kebangsaan" (nationality) mengacu atau digunakan dalam makna (obyektif atau eksternal) yang kongkrit (bahasa nasional, wilayah, negara, peradaban, dan sejarah), atau dalam makna (subyektif, internal, atau ideal) yang abstrak (kesadaran nasional, atau sentimen).[iii] Untuk memahami lebih jelas tentang nasionalisme, terutama nasionalisme Indonesia, sebuah penjelajahan historis diperlukan. Berarti kita mencoba menggali artefak-artefak nasionalisme dan membaca pesan-pesannya.

I

Ide nasionalisme bukanlah ide yang sangat tua, setidaknya rentang waktu akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas dapat dijadikan acuan.[iv] Meskipun ide tentang negara dan bangsa sendiri sudah berusia berabad-abad dan dapat dirunut jauh sampai pada para pemikir seperti Plato dan Aristoteles, tapi bangun diskursus nasionalisme baru dimulai pada para pemikir modern, seperti John Locke dan Fichte. Untuk pembahasan ini diskursus nasionalisme yang dimaksud mengacu pada nasionalisme modern.[v] Secara umum, nasionalisme sering dikaitkan dengan Revolusi Prancis, industrialisasi, liberalisme, dan sentimen bangsa, yakni sebuah struktur baru yang disebut modern yang menggantikan struktur klasik masyarakat yang bersifat lokal dan feodal.

Secara historis kemunculan nasionalisme berangkat dari sebuah struktur klasik masyarakat yang represif terhadap rakyat dan memihak kelompok minoritas tertentu (seperti bangsawan misalnya). Dalam sejarah Prancis situasi ini dialami pada masa Rezim Lama dengan penjara Bastille sebagai simbolnya. Pada masa itu pelaksanaan hukum feodal dan hak pemilikan tanah oleh bangsawan memberi keuntungan besar bagi kelompok bangsawan. Sepanjang abad XVIII harga barang di Prancis naik dengan cepat, bersamaan dengan naiknya ongkos produksi. Kenaikan ini memberi keuntungan besar, tidak kepada petani penggarap tapi kepada pemilik tanah.[vi] Hal yang tak jauh beda juga terjadi di Indonesia misalnya dengan apa yang disebut lembaga sawah negara.[vii] Lembaga ini berasal dari awal periode kesultanan dan dipelihara sampai pertengahan kedua abad XIX. Dalam tahun 1808 Daendels menghapus sistem ini dan hanya memungut seperlima bagian panen sebagai pajak tanah, dan oleh Rafles beberapa tahun kemudian menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Namun bukan berarti seluruh sistem hilang, sebagian privilage bagi bangsawan atas hak atas tanah tetap berjalan, bahkan diperparah oleh korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja.[viii]

Masalah tanah ini perlu disinggung karena diskursus nasionalisme awal sesungguhnya secara riil terkait dengan masalah tanah dan menjadi salah satu agenda penting di masa sekarang. Kesadaran bertanah dan mempertahankan tanahnya, dalam perspektif nasionalisme menjadi kesadaran bertanah air. Tanah air yang sungguh-sungguh milik kami dan harus kami pertahankan. Bangsa tanpa tanah air seperti pohon tanpa akar, tanpa pijakan.

Revolusi Prancis 1789 yang berhasil menggulingkan Louis XVI menggulirkan liberalisme dengan semboyan "liberte, egalite, fraternite"-nya yang terkenal. Proyek liberalisme adalah menyusun sebuah pandangan mengenai keadilan yang mempertahankan subyektivitas yang mengarah pada kebaikan.[ix] Penekanan pada individu dan hak menjadi tema sentral liberalisme. Titik tekan yang kuat (kalau bukan terlalu kuat) pada individu ini membiarkan tiap individu menemukan sendiri "hidup yang baik" dalam wilayah pilihan individu, yang menyebakannya jatuh pada pembatasan diri memberikan sebuah teori keadilan, karena keadilan tak mungkin dipahami sepihak tapi dalam perspektif intersubyekyivitas.

II

Liberalisme telah melahirkan pasar kapitalis dan (mestinya) bertanggung jawab atasnya. Namun pasar kapitalis dan organisasi produksinya teryata memiliki paradoks, sebagaimana dikatakan oleh Poole :[x]
"Pasar kapitalis dan organisasi produksi telah menempatkan individu di dalam jaringan saling ketergantungan-ketergantungan yang lebih luas daripada yang ada dalam bentuk-bentuk masyarakat lainnya. Akan tetapi paradoksalnya, pasar dan organisasi produksi itu juga berfungsi memisahkan individu dari ikatan-ikatan yang konstitutif dengan individu-individu lainnya - sekurang-kurangnya dalam dunia publik."
Hal ini menciptakan kekosongan nilai-nilai dan jati diri individu di hadapan sosialitasnya.

Kekosongan nilai, nihilisme, dalam dunia modern termanifestasi dalam situasi absurd. Situasi yang tak terpahami oleh subyek-subyek yang mengalaminya. Seperti Sisifus, Raja Korinte, yang terus menerus mendorong batu ke puncak bukit meski batu itu bakal terguling lagi ke bawah. Albert Camus merefleksikan Revolusi Prancis dan modernitas dalam The Rebel dan sampai pada kesimpulan bahwa pemberontakanlah yang harus dilakukan atas situasi absurd. "I rebel - therefore I exist" ujarnya. [xi]

Apa yang dituntut Camus adalah sebuah nilai yang menyatukan individu-individu, sebuah intersubyektivitas, yaitu sebuah solidaritas sosial yang melampaui keindividualannya. Di abad XVIII tuntutannya itu dijawab oleh nasionalisme yang sering dikaitkan dengan liberalisme. Nasionalisme mengungguli liberalisme dalam menarik persekutuan di dunia modern dengan diktum politik tentang negara kebangsaan (nation state).

Nasionalisme memperkenalkan identitas nasional sebagai tali pengikat diri dan - dengan demikian - jati diri individu. Identitas nasional adalah sebentuk kesadaran diri, ia juga kesadaran orang lain. Kesadaran itu mengidentifikasikan mereka yang memiliki identitas itu, dan mereka yang wajib kita bantu.[xii]

III

Di Indonesia diskursus nasionalisme mendapat tempat pada debat antara Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetatmo Soerjokoesoemo. Tjipto mendirikan Budi Utomo dan Indische Partij, sedang Soetatmo mendirikan Komite Nasionalisme Jawa. Debat itu diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk selebaran berjudul Javaansche of Indische Nationalisme. Soetatmo memajukan nasionalisme Jawa yang dipandangnya lebih jelas dalam landasan bahasa dan kebudayaan untuk sebuah bangsa. Dalam cara pandang ini, Soetatmo mengusulkan peran pandito sebagai pencipta ketertiban dalam kekacauan pergerakan dengan memperbaiki hubungan kawulo-gusti, rakyat menjadi kawulo sang pandito ratu. Di seberangnya berdiri Tjipto dengan nasionalisme Hindia dengan penitisan jiwa satrio sejati, yaitu keluhuran moral, melalui perlawanan tanpa kompromi terhadap penindasan dan pemerasan Belanda para priyayi terhadap rakyat.[xiii]

Diskursus ini memuncak pada pernyataan Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda telah meleburkan cara pandang sempit yang lokal ke dalam cara pandang baru yang lebih luas namun integratif.[xiv] Nasionalisme 1928 menyatukan tanah air, bangsa, dan bahasa sebagai batu pijakan pergerakan. Tanah menjadi tempat berpijak suatu bangsa dan bahasa sebagai identitasnya. Tanah sebagai batu pijakan ini terartikulasi dalam pemikiran Ross Poole tentang negara kebangsaan: [xv]
"Negara kebangsaan memberi para anggotanya milik bersama yang tak dapat direbut: tanah tempat mereka memiliki hak untuk mengarahkan hidup mereka. negara kebangsaan dengan demikian memulihkan hubungan dengan tanah - lokasi spasial dan jati-diri spasial - yang bagi kebanyakan orang telah dihancurkan dunia modern."
Tanah air menjadi dimensi ruang dalam negara kebangsaan, dan sejarah menjadi dimensi waktunya. Hal yang sama diungkapkan Soekarno dalam pidato Lahirnya Pancasila ketika meletakkan nasionalisme sebagai dasar negara Indonesia dengan menekankan kesatuan manusia dan tempatnya: "Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya."

Bila tanah jadi pijakan, maka bahasa merupakan kunci identitas nasional yang penting. Bahasa adalah medium untuk berkomunikasi. Tiap warga negara dapat mengekspresikan sesuatu dengan bahasa tertentu yang dapat dipahami orang lain dari sosialitasnya yang menunjukkan ikatan komunitas itu. Perlu dicatat bahwa nasionalisme sendiri tidak bergantung pada bahasa, tapi diperlukan sebagai media bagi warga suatu bangsa. Jadi bahasa boleh jadi sebuah komponen penting dalam eksistensi kebangsaan, tapi tidak berarti dia sine qua non.[xvi]

Apakah kebudayaan dapat dijadikan identitas pula sebagaimana bahasa? Dalam perspektif yang sama nampaknya juga berlaku mengenai kebudayaan tapi memiliki konteks persoalan yang berbeda dan lebih luas dari bahasa. Adakah kebudayaan yang sungguh-sungguh tunggal di dunia ini sehingga suatu komunitas dapat mengidentifikasi dirinya dengan kebudayaan itu? Pada kenyataannya kebudayaan lebih bergerak pada prosesnya sendiri dengan persinggungan berbagai kebudayaan di dunia. Kebanyakan negara modern pun merupakan bangsa dengan multikultur seperti Indonesia dan Amerika misalnya. Indonesia adalah negeri yang multikultur, integrasi tiap budaya lokal ke dalam budaya nasional bukanlah pemaksaan satu budaya dominan atau peleburan budaya-budaya ke dalam satu bentuk, tapi membiarkannya terintegrasi menjadi sebuah mozaik kebudayaan. Sehingga tidak layaklah membenturkan, misalnya, budaya nasional versus budaya daerah, tapi membiarkan keduanya saling mengisi. Tanpa perumusan ketat atas "budaya nasional", nasionalisme tetap ada.[xvii]

IV

Hal pokok yang mengganggu konsep nasionalisme adalah klaim nasionalisme sebagai ilusi atau semacam "kesadaran palsu"-nya Marx. Karl Marx mengklaim bahwa "Di dalam negara ...[manusia] adalah anggota imajiner dari sebuah kedaulatan khayal, tercerabut dari kehidupan individualnya yang nyata dan dilimpahi dengan suatu universalitas yang tidak nyata."[xviii]

Menghadapi serangan semacam ini, Benedict Anderson berdiri di pihak pembela dengan menyatakan bahwa: [xix]
"Ia [negara kebangsaan] dibayangkan karena para anggota negara kebangsaan terkecil sekalipun tak akan pernah mengetahui sebagian besar dari sesama anggotanya, tak pernah menjumpai mereka, atau bahkan tak pernah mendengar mereka, namun dalam pemikiran masing-masing hidup bayangan tentang kebersamaan mereka."
Anderson memandang negara kebangsaan sebagai "komunitas yang dibayangkan" (imagined community), yang dipertentangkan dengan rekaan, buat-buatan, atau kepalsuan. Negara kebangsaan adalah sebuah produk imajinasi, tapi sebuah imajinasi yang kreatif dalam lintasan sejarah.

Senada dengan itu, Mochtar Probotinggi mengajukan dua hal dalam membela nasionalisme Indonesia.[xx] Pertama, Indonesia lahir bukan dari lamunan asal jadi (idle imagination) melainkan dari imajinasi kreatif dan penuh keberanian dari para pelopor bangsa kita. Kedua, para pelopor bangsa telah menggugah masyarakatnya yang terbelakang dengan mengembangkan imajinasi mereka dalam iklim yang mematikan imajinasi. Pernyataan Mochtar memang benar, namun nampaknya dia lebih menekankan peran para aktor intelektual dalam pembentukan nasionalisme Indonesia. Dengan penuh hormat pada para intelektual bangsa, kita perlu juga mengingat bahwa bangun nasionalisme tak akan kokoh tanpa "sekrup-sekrup kecil" yang bernama rakyat. Kedaulatan rakyat hanya eksis bila rakyatnya menyadari dan mengakui itu.

Satu fakta jelas yang tak dapat ditolak adalah Revolusi Indonesia telah melibatkan rakyat Indonesia untuk berpartisipasi total dalam politik. Bahkan Manuel Kaisiepo menulis bahwa hanya faktor kesadaran tentang nasionalisme itulah yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa tingkat mobilisasi dan partisipasi rakyat sedemikian intens dalam revolusi tersebut, sampai bersedia menjadi martir.[xxi] Tentunya nasionalisme tidak bisa dengan begitu saja dianggap omong kosong. Nasionalisme itu bernilai. Ia memberi arti, menunjukkan arah, dan menjadi alat justifikasi bagi suatu gerakan revolusioner. Dia bernilai, makanya harus dibayar bahkan dengan darah sekalipun. Terima kasih kita pada para pejuang.

V

Namun mengapa sekarang ini banyak pihak yang mulai meragukan nasionalisme, terutama dalam konteks globalisasi, sampai perlu tercetus istilah "pasca nasional-isme"? [xxii] Apakah itu cuma kegenitan intelektual ataukah sungguh-sungguh eksis atau bersifat futuristik? Clifford Geertz melihat memang ada kecenderungan patologis pada masyarakat modern ketika nasionalisme diangkat ke taraf supremasi politik. Dikatakannya bahwa: [xxiii]
"Dalam kadar yang meningkat, kesatuan nasional dipelihara tidak dengan berteriak kepada darah dan tanah melainkan dengan sebuah kesetiaan yang samar-samar, timbul tenggelam, dan rutin pada sebuah negara sipil, yang dilengkapi kurang lebih dengan penggunaan kekuatan-kekuatan polisi pemerintah dan desakan ideologis."
Apakah nasionalisme telah kehilangan kekuatannya karena bersifat ideologis dan dipaksakan? Mungkin lebih tepat mengatakan bahwa nasionalisme telah dicemari berbagai kepentingan di luar nasionalisme itu sendiri, yaitu ketika dia tinggal retorika politik belaka dengan argumen historistik sehingga menutup dirinya untuk diartikulasikan dalam konteks kekinian. Nasionalisme dibelenggu dalam sejarah dan secara pesimis dianggap romantisme masa lalu.

"Negara anda sudah merdeka. tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?" tanya Rendra. Itulah pertanyaan sesungguhnya. Bukan pada masih ada tidaknya nasionalisme tapi pada "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu sendiri. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa keraguan terhadap nasionalisme bukanlah penolakan. Dia adalah sebuah kritik-diri terhadap kedaulatan bangsa dan cita-cita 28 Oktober 1928 dan 17 Agustus 1945. Kritik ini ingin membongkar kepalsuan "nasionalisme" yang cuma berhenti di tingkat buku sejarah formal dan pidato basa basi. Nasionalisme bukan sekedar ortodoksi tapi harus ditransformasikan menjadi ortopraksi. Revitalisasi dan realisasai nasionalisme adalah locus dari diskursus nasionalisme itu sendiri.

Negara Indonesia sudah merdeka, itu sudah jelas. Apakah bangsa Indonesia sudah merdeka? Negara dan (ke)bangsa(an) tidaklah sama. Negara bangsa selalu berdasarkan pada kebangsaan, tapi kebangsaan dapat ada tanpa negara kebangsaan.[xxiv] Nasionalisme mendahului negara, sebagaimana Sumpah Pemuda mendahului Proklamasi 1945. Proklamasi sudah kita lewati, apakah cita-cita nasionalisme sudah tercapai? Bukankah UUD 1945 menegaskan bahwa (Proklamasi) mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur? Tentu ini bukan sebuah rekaman peristiwa, tapi sebuah cita-cita nasionalisme yang kembali dipertegas. Nasionalisme harus kita letakkan kembali pada jalur utamanya: pendorong ke arah kemerdekaan.

Nasionalisme adalah pencerahan yang bersandar pada akumulasi pengalaman penjajahan (kolonisasi) dan harus dibumikan pada pengalaman aktual. Merdekakah kita ketika penggusuran masih terjadi dan pers masih direstriksi? Merdekakah kita ketika makna bahasa masih dihegemoni dan pendidikan ternyata tidak mencerdaskan? Makmurkah kita ketika kemiskinan masih merajalela di tanah nenek moyang kita sendiri? Merdekakah kita ketika kesenjangan sosial dan politik begitu jauh? Merdekakah kita bila tidak ada jaminan perlindungan dan keadilan hukum? Merdekakah kita bila sistem ekonomi dunia menyudutkan negara berkembang? Dan berbagai igauan semacam ini mengalir deras dalam mimpi anak negeri, seolah menggaungkan kembali apa yang dijeritkan para intelektual kita di masa lalu.

Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit yang membela bangsa apapun alasannya. "Right or wrong is my country" adalah sentimen berlebihan atas bangsa yang dapat berbuah rasialisme dan memperkosa kemanusiaan dan kebenaran. Nasionalisme kita tidak sekedar mengabdi pada sebentuk negara politis semata-mata, tapi lebih pada bangsanya, nasib warga di dalamnya. Dengan demikian kemanusiaan adalah panutannya, dan ke-Tuhanan adalah dasarnya. Nasionalisme tidak mati, dia hidup di hati rakyat Indonesia, termasuk pemudanya. Ada baiknya kita simak pernyataan "Sumpah mahasiswa" [xxv] di era 1980-an ini yang mengaku:
"Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan.
Berbahasa satu, bahasa kebenaran."
Tiga poin pokok yang muncul (tanpa penindasan, keadilan, dan kebenaran) adalah diskursus nasionalisme masa kini yang menghadirkan kembali seruan kritis para pendahulu bangsa. Adalah betul bahwa para pemuda generasi sekarang tidak mengalami masa penjajahan dan revolusi, tapi adalah naif bila dikatakan bahwa mereka tidak dapat berempati atas pengalaman itu dan tercerabut dari nasionalisme. Dulu adalah dulu dan sekarang adalah sekarang. Tapi pengalaman nasionalisme dulu pun hadir di masa sekarang meski berbeda dalam wujud dan strukturnya. Perjuangan atas cita-cita nasionalisme belumlah berhenti, tapi disambut oleh generasi sekarang untuk meneruskannya.

Bulaksumur, 26 September 1996


Catatan Kaki
[i] Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Angkatan 1990. Naskah ini pernah dipresentasikan dan menjadi Pemenang Pertama Lomba Penulisan Essai Mahasiswa Tingkat Nasional oleh Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1996
[ii] Rendra, "Demi Orang-Orang Rangkas Bitung," dalam Orang-Orang Rangkas Bitung, Bentang Intervisi Utama, Yogyakarta, 1993
[iii] Louis L. Snyder, The Meaning of Nationalism, Rutgers University Press, New Jersey, 1954, h. 72
[iv] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, di bawah Bayang-Bayang Nihilisme, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta, 1993, h. 123
[v] Argumen ini berdasarkan bahwa bentuk "nasionalisme" pra-modern lebih mengacu pada komunitas tradisional seperti kesukuan dan ras. Sedang pada nasionalisme modern mendapat bentuk baru yang melampaui kedaerahan dan ikatan darah. Selain itu diperlukan suatu batasan yang dapat mempersempit ruang diskursusnya sendiri.
[vi] Francois Furet - Denis Richet, Revolusi Prancis, diterjemahkan oleh Team Penerjemah Lembaga Indonesia Prancis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1989, h. 9.
[vii] Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, h. 58
[viii] Ibid, h. 61
[ix] Ross Poole, op. cit. h. 94-95
[x] Ross Pole, ibid h. 117
[xi] Albert Camus, The Rebel, An Essay on Man in Revolt, diterjemahkan oleh Anthony Bower, New York Vintage Book, USA, 1956, h. 22
[xii] Ross Poole, op. cit. h. 121
[xiii] Lihat hasil penelitian Takashi Shiraishi, ""Satria" vs "Pandita", Sebuah Debat dalam Mencari Identitas", dalam Akira Nakazumi (editor), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang (Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986
[xiv] Geertz memandang gerakan nasionalisme sebagai "Revolusi Integratif". Lihat Clifford Geertz, Politik Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, terutama Bab 3 berjudul "Revolusi Integratif: Sentimen-Sentimen Primordial dan Politik Sipil di Negara-Negara Baru", h. 75-137, meskipun Geertz agak pesimis memandang revolusi integratif itu dengan mengajukan sederet fakta yang justru menunjukkan terjadinya disintegrasi, namun hal ini dapat diterima sebagai kritik atas sebuah proyek integrasi yang dapat terjebak pada disintegrasi.
[xv] Ross Poole, op. cit. h.27
[xvi] Louis L. Snyder, op. cit. h. 58
[xvii] Yang layak diperdebatan sebenarnya adalah arah kebudayaan nasional sendiri, artinya juga arah kebudayaan lokal di Indonesia, menghadapi globalisasi. Hal ini terutama akan berimplikasi pada suatu penyikapan kongkrit nasional tentang nasib budaya daerah.
[xviii] Karl Marx, On The Jewish Question, dikutip oleh Ross Poole, op. cit. h. 141
[xix] Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London, Verso, 1983, h. 15
[xx] Mochtar Probotinggi, Rentang Nasionalisme Kita, dalam Harian Kompas, 22 September 1993
[xxi] Manuel Kaisiepo, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, dalam Harian Kompas, 30 Pebruari 1995, namun Manuel juga menyadari bahwa interpretasi Revolusi Indonesia tetap memiliki dimensi misteri, yaitu suatu pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan kepastian, tapi menawarkan penyelidikan-penyelidikan baru yang berharga.
[xxii] Istilah ini diperdebatkan dalam sebuah Panel Forum Indonesia Pasca Nasionalisme yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif-Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada tanggal 21-22 April 1993 di Yogyakarta.
[xxiii] Clifford Geertz, op. cit. h. 80, cetak tebal oleh penulis.
[xxiv] Louis L. Snyder, op.cit. h. 59
[xxv] Sayang sekali belum ada studi mendalam tentang lahirnya Sumpah Mahasiswa. Sebagian mahasiswa menyatakan bahwa pernyataan ini pertama kali dibacakan di Yogyakarta di tahun 1980-an. Namun menarik sekali bahwa pernyataan ini begitu populer di kalangan aktivis dan intelektual kampus di Indonesia, bahkan sering dituliskan di pamflet-pamflet atau spanduk-spanduk demonstrasi.
oleh KURNIAWAN[i]
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?

(Rendra)[ii]
PENGALAMAN sejarah dan kegugupan menatap masa depan, nun dimana sebuah bendera WTO berkibar, mengusik tidur nyenyak negara makmur dan menggelisahkan negara-negara yang baru bersusah payah mendorong laju perekonomiannya. Dalam matra politik, refleksi terhadap negara dan bangsa dalam konteks dunia mendapat tempat dalam agenda tiap negara, tak terkecuali Indonesia. Mereka dipaksa kembali merenungkan dirinya, sejarahnya, dan cita-citanya. Nasionalisme sebagai sebuah tema muncul kembali dalam kaitannya dengan banyak aspek, baik ekonomi, politik, kebudayaan, maupun pertahanan. Dalam diskursus nasionalisme, muncul pro dan kontra terhadap kekuatan dan relevansinya untuk masa ini yang membuahkan sikap pesimisme dan optimisme. Tulisan ini mencoba menelusuri kembali makna nasionalisme dalam lintasan sejarah (terutama Indonesia) untuk selanjutnya melihat sejauh mana relevasnsinya bagi Indonesia sekarang.

Secara semantik, istilah "nasionalisme" sebenarnya agak membingungkan, mengingat penggunaannya yang bersifat luas yang mengacu pada makna yang berbeda-beda. Istilah ini sering berkait dengan istilah bangsa (nation), kebangsaan (nationality), dan negara (state). Namun secara etimologis terlihat bahwa nasionalisme berakar pada bangsa dan meluas pada (ke)bangsa(an). Menurut Louis L. Snyder istilah "kebangsaan" (nationality) mengacu atau digunakan dalam makna (obyektif atau eksternal) yang kongkrit (bahasa nasional, wilayah, negara, peradaban, dan sejarah), atau dalam makna (subyektif, internal, atau ideal) yang abstrak (kesadaran nasional, atau sentimen).[iii] Untuk memahami lebih jelas tentang nasionalisme, terutama nasionalisme Indonesia, sebuah penjelajahan historis diperlukan. Berarti kita mencoba menggali artefak-artefak nasionalisme dan membaca pesan-pesannya.

I


Ide nasionalisme bukanlah ide yang sangat tua, setidaknya rentang waktu akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas dapat dijadikan acuan.[iv] Meskipun ide tentang negara dan bangsa sendiri sudah berusia berabad-abad dan dapat dirunut jauh sampai pada para pemikir seperti Plato dan Aristoteles, tapi bangun diskursus nasionalisme baru dimulai pada para pemikir modern, seperti John Locke dan Fichte. Untuk pembahasan ini diskursus nasionalisme yang dimaksud mengacu pada nasionalisme modern.[v]

Secara historis kemunculan nasionalisme berangkat dari sebuah struktur klasik masyarakat yang represif terhadap rakyat dan memihak kelompok minoritas tertentu (seperti bangsawan misalnya). Dalam sejarah Prancis situasi ini dialami pada masa Rezim Lama dengan penjara Bastille sebagai simbolnya. Pada masa itu pelaksanaan hukum feodal dan hak pemilikan tanah oleh bangsawan memberi keuntungan besar bagi kelompok bangsawan. Sepanjang abad XVIII harga barang di Prancis naik dengan cepat, bersamaan dengan naiknya ongkos produksi. Kenaikan ini memberi keuntungan besar, tidak kepada petani penggarap tapi kepada pemilik tanah.[vi] Hal yang tak jauh beda juga terjadi di Indonesia misalnya dengan apa yang disebut lembaga sawah negara.[vii] Lembaga ini berasal dari awal periode kesultanan dan dipelihara sampai pertengahan kedua abad XIX. Dalam tahun 1808 Daendels menghapus sistem ini dan hanya memungut seperlima bagian panen sebagai pajak tanah, dan oleh Rafles beberapa tahun kemudian menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Namun bukan berarti seluruh sistem hilang, sebagian privilage bagi bangsawan atas hak atas tanah tetap berjalan, bahkan diperparah oleh korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja.[viii]

Masalah tanah ini perlu disinggung karena diskursus nasionalisme awal sesungguhnya secara riil terkait dengan masalah tanah dan menjadi salah satu agenda penting di masa sekarang. Kesadaran bertanah dan mempertahankan tanahnya, dalam perspektif nasionalisme menjadi kesadaran bertanah air. Tanah air yang sungguh-sungguh milik kami dan harus kami pertahankan. Bangsa tanpa tanah air seperti pohon tanpa akar, tanpa pijakan.

Revolusi Prancis 1789 yang berhasil menggulingkan Louis XVI menggulirkan liberalisme dengan semboyan "liberte, egalite, fraternite"-nya yang terkenal. Proyek liberalisme adalah menyusun sebuah pandangan mengenai keadilan yang mempertahankan subyektivitas yang mengarah pada kebaikan.[ix]
Secara umum, nasionalisme sering dikaitkan dengan Revolusi Prancis, industrialisasi, liberalisme, dan sentimen bangsa, yakni sebuah struktur baru yang disebut modern yang menggantikan struktur klasik masyarakat yang bersifat lokal dan feodal. Penekanan pada individu dan hak menjadi tema sentral liberalisme. Titik tekan yang kuat (kalau bukan terlalu kuat) pada individu ini membiarkan tiap individu menemukan sendiri "hidup yang baik" dalam wilayah pilihan individu, yang menyebakannya jatuh pada pembatasan diri memberikan sebuah teori keadilan, karena keadilan tak mungkin dipahami sepihak tapi dalam perspektif intersubyekyivitas. II

Liberalisme telah melahirkan pasar kapitalis dan (mestinya) bertanggung jawab atasnya. Namun pasar kapitalis dan organisasi produksinya teryata memiliki paradoks, sebagaimana dikatakan oleh Poole :[x]

"Pasar kapitalis dan organisasi produksi telah menempatkan individu di dalam jaringan saling ketergantungan-ketergantungan yang lebih luas daripada yang ada dalam bentuk-bentuk masyarakat lainnya. Akan tetapi paradoksalnya, pasar dan organisasi produksi itu juga berfungsi memisahkan individu dari ikatan-ikatan yang konstitutif dengan individu-individu lainnya - sekurang-kurangnya dalam dunia publik."
Hal ini menciptakan kekosongan nilai-nilai dan jati diri individu di hadapan sosialitasnya.

Kekosongan nilai, nihilisme, dalam dunia modern termanifestasi dalam situasi absurd. Situasi yang tak terpahami oleh subyek-subyek yang mengalaminya. Seperti Sisifus, Raja Korinte, yang terus menerus mendorong batu ke puncak bukit meski batu itu bakal terguling lagi ke bawah. Albert Camus merefleksikan Revolusi Prancis dan modernitas dalam The Rebel dan sampai pada kesimpulan bahwa pemberontakanlah yang harus dilakukan atas situasi absurd. "I rebel - therefore I exist" ujarnya. [xi]

Apa yang dituntut Camus adalah sebuah nilai yang menyatukan individu-individu, sebuah intersubyektivitas, yaitu sebuah solidaritas sosial yang melampaui keindividualannya. Di abad XVIII tuntutannya itu dijawab oleh nasionalisme yang sering dikaitkan dengan liberalisme. Nasionalisme mengungguli liberalisme dalam menarik persekutuan di dunia modern dengan diktum politik tentang negara kebangsaan (nation state).

Nasionalisme memperkenalkan identitas nasional sebagai tali pengikat diri dan - dengan demikian - jati diri individu. Identitas nasional adalah sebentuk kesadaran diri, ia juga kesadaran orang lain. Kesadaran itu mengidentifikasikan mereka yang memiliki identitas itu, dan mereka yang wajib kita bantu.[xii]

III


Di Indonesia diskursus nasionalisme mendapat tempat pada debat antara Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetatmo Soerjokoesoemo. Tjipto mendirikan Budi Utomo dan Indische Partij, sedang Soetatmo mendirikan Komite Nasionalisme Jawa. Debat itu diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk selebaran berjudul Javaansche of Indische Nationalisme. Soetatmo memajukan nasionalisme Jawa yang dipandangnya lebih jelas dalam landasan bahasa dan kebudayaan untuk sebuah bangsa. Dalam cara pandang ini, Soetatmo mengusulkan peran panditokawulo-gusti, rakyat menjadi kawulo sang pandito ratu. Di seberangnya berdiri Tjipto dengan nasionalisme Hindia dengan penitisan jiwa satrio sejati, yaitu keluhuran moral, melalui perlawanan tanpa kompromi terhadap penindasan dan pemerasan Belanda para priyayi terhadap rakyat.[xiii]

Diskursus ini memuncak pada pernyataan Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda telah meleburkan cara pandang sempit yang lokal ke dalam cara pandang baru yang lebih luas namun integratif.[xiv] Nasionalisme 1928 menyatukan tanah air, bangsa, dan bahasa sebagai batu pijakan pergerakan. Tanah menjadi tempat berpijak suatu bangsa dan bahasa sebagai identitasnya. Tanah sebagai batu pijakan ini terartikulasi dalam pemikiran Ross Poole tentang negara kebangsaan: [xv]
sebagai pencipta ketertiban dalam kekacauan pergerakan dengan memperbaiki hubungan
"Negara kebangsaan memberi para anggotanya milik bersama yang tak dapat direbut: tanah tempat mereka memiliki hak untuk mengarahkan hidup mereka. negara kebangsaan dengan demikian memulihkan hubungan dengan tanah - lokasi spasial dan jati-diri spasial - yang bagi kebanyakan orang telah dihancurkan dunia modern."
Tanah air menjadi dimensi ruang dalam negara kebangsaan, dan sejarah menjadi dimensi waktunya. Hal yang sama diungkapkan Soekarno dalam pidato Lahirnya Pancasila ketika meletakkan nasionalisme sebagai dasar negara Indonesia dengan menekankan kesatuan manusia dan tempatnya: "Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya."

Bila tanah jadi pijakan, maka bahasa merupakan kunci identitas nasional yang penting. Bahasa adalah medium untuk berkomunikasi. Tiap warga negara dapat mengekspresikan sesuatu dengan bahasa tertentu yang dapat dipahami orang lain dari sosialitasnya yang menunjukkan ikatan komunitas itu. Perlu dicatat bahwa nasionalisme sendiri tidak bergantung pada bahasa, tapi diperlukan sebagai media bagi warga suatu bangsa. Jadi bahasa boleh jadi sebuah komponen penting dalam eksistensi kebangsaan, tapi tidak berarti dia sine qua non.[xvi]

Apakah kebudayaan dapat dijadikan identitas pula sebagaimana bahasa? Dalam perspektif yang sama nampaknya juga berlaku mengenai kebudayaan tapi memiliki konteks persoalan yang berbeda dan lebih luas dari bahasa. Adakah kebudayaan yang sungguh-sungguh tunggal di dunia ini sehingga suatu komunitas dapat mengidentifikasi dirinya dengan kebudayaan itu? Pada kenyataannya kebudayaan lebih bergerak pada prosesnya sendiri dengan persinggungan berbagai kebudayaan di dunia. Kebanyakan negara modern pun merupakan bangsa dengan multikultur seperti Indonesia dan Amerika misalnya. Indonesia adalah negeri yang multikultur, integrasi tiap budaya lokal ke dalam budaya nasional bukanlah pemaksaan satu budaya dominan atau peleburan budaya-budaya ke dalam satu bentuk, tapi membiarkannya terintegrasi menjadi sebuah mozaik kebudayaan. Sehingga tidak layaklah membenturkan, misalnya, budaya nasional versus budaya daerah, tapi membiarkan keduanya saling mengisi. Tanpa perumusan ketat atas "budaya nasional", nasionalisme tetap ada.[xvii]

IV


Hal pokok yang mengganggu konsep nasionalisme adalah klaim nasionalisme sebagai ilusi atau semacam "kesadaran palsu"-nya Marx. Karl Marx mengklaim bahwa "Di dalam negara ...[manusia] adalah anggota imajiner dari sebuah kedaulatan khayal, tercerabut dari kehidupan individualnya yang nyata dan dilimpahi dengan suatu universalitas yang tidak nyata."[xviii]

Menghadapi serangan semacam ini, Benedict Anderson berdiri di pihak pembela dengan menyatakan bahwa: [xix]

"Ia [negara kebangsaan] dibayangkan karena para anggota negara kebangsaan terkecil sekalipun tak akan pernah mengetahui sebagian besar dari sesama anggotanya, tak pernah menjumpai mereka, atau bahkan tak pernah mendengar mereka, namun dalam pemikiran masing-masing hidup bayangan tentang kebersamaan mereka."
Anderson memandang negara kebangsaan sebagai "komunitas yang dibayangkan" (imagined community), yang dipertentangkan dengan rekaan, buat-buatan, atau kepalsuan. Negara kebangsaan adalah sebuah produk imajinasi, tapi sebuah imajinasi yang kreatif dalam lintasan sejarah.

Senada dengan itu, Mochtar Probotinggi mengajukan dua hal dalam membela nasionalisme Indonesia.[xx] Pertama, Indonesia lahir bukan dari lamunan asal jadi (idle imagination) melainkan dari imajinasi kreatif dan penuh keberanian dari para pelopor bangsa kita. Kedua, para pelopor bangsa telah menggugah masyarakatnya yang terbelakang dengan mengembangkan imajinasi mereka dalam iklim yang mematikan imajinasi. Pernyataan Mochtar memang benar, namun nampaknya dia lebih menekankan peran para aktor intelektual dalam pembentukan nasionalisme Indonesia. Dengan penuh hormat pada para intelektual bangsa, kita perlu juga mengingat bahwa bangun nasionalisme tak akan kokoh tanpa "sekrup-sekrup kecil" yang bernama rakyat. Kedaulatan rakyat hanya eksis bila rakyatnya menyadari dan mengakui itu.

Satu fakta jelas yang tak dapat ditolak adalah Revolusi Indonesia telah melibatkan rakyat Indonesia untuk berpartisipasi total dalam politik. Bahkan Manuel Kaisiepo menulis bahwa hanya faktor kesadaran tentang nasionalisme itulah yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa tingkat mobilisasi dan partisipasi rakyat sedemikian intens dalam revolusi tersebut, sampai bersedia menjadi martir.[xxi] Tentunya nasionalisme tidak bisa dengan begitu saja dianggap omong kosong. Nasionalisme itu bernilai. Ia memberi arti, menunjukkan arah, dan menjadi alat justifikasi bagi suatu gerakan revolusioner. Dia bernilai, makanya harus dibayar bahkan dengan darah sekalipun. Terima kasih kita pada para pejuang.

V


Namun mengapa sekarang ini banyak pihak yang mulai meragukan nasionalisme, terutama dalam konteks globalisasi, sampai perlu tercetus istilah "pasca nasional-isme"? [xxii] Apakah itu cuma kegenitan intelektual ataukah sungguh-sungguh eksis atau bersifat futuristik? Clifford Geertz melihat memang ada kecenderungan patologis pada masyarakat modern ketika nasionalisme diangkat ke taraf supremasi politik. Dikatakannya bahwa: [xxiii]

"Dalam kadar yang meningkat, kesatuan nasional dipelihara tidak dengan berteriak kepada darah dan tanah melainkan dengan sebuah kesetiaan yang samar-samar, timbul tenggelam, dan rutin pada sebuah negara sipil, yang dilengkapi kurang lebih dengan penggunaan kekuatan-kekuatan polisi pemerintah dan desakan ideologis."
Apakah nasionalisme telah kehilangan kekuatannya karena bersifat ideologis dan dipaksakan? Mungkin lebih tepat mengatakan bahwa nasionalisme telah dicemari berbagai kepentingan di luar nasionalisme itu sendiri, yaitu ketika dia tinggal retorika politik belaka dengan argumen historistik sehingga menutup dirinya untuk diartikulasikan dalam konteks kekinian. Nasionalisme dibelenggu dalam sejarah dan secara pesimis dianggap romantisme masa lalu.

"Negara anda sudah merdeka. tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?" tanya Rendra. Itulah pertanyaan sesungguhnya. Bukan pada masih ada tidaknya nasionalisme tapi pada "kemerdekaan" yang menyertai semangat nasionalisme itu sendiri. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa keraguan terhadap nasionalisme bukanlah penolakan. Dia adalah sebuah kritik-diri terhadap kedaulatan bangsa dan cita-cita 28 Oktober 1928 dan 17 Agustus 1945. Kritik ini ingin membongkar kepalsuan "nasionalisme" yang cuma berhenti di tingkat buku sejarah formal dan pidato basa basi. Nasionalisme bukan sekedar ortodoksi tapi harus ditransformasikan menjadi ortopraksi. Revitalisasi dan realisasai nasionalisme adalah locus dari diskursus nasionalisme itu sendiri.

Negara Indonesia sudah merdeka, itu sudah jelas. Apakah bangsa Indonesia sudah merdeka? Negara dan (ke)bangsa(an) tidaklah sama. Negara bangsa selalu berdasarkan pada kebangsaan, tapi kebangsaan dapat ada tanpa negara kebangsaan.[xxiv] Nasionalisme mendahului negara, sebagaimana Sumpah Pemuda mendahului Proklamasi 1945. Proklamasi sudah kita lewati, apakah cita-cita nasionalisme sudah tercapai? Bukankah UUD 1945 menegaskan bahwa (Proklamasi) mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur? Tentu ini bukan sebuah rekaman peristiwa, tapi sebuah cita-cita nasionalisme yang kembali dipertegas. Nasionalisme harus kita letakkan kembali pada jalur utamanya: pendorong ke arah kemerdekaan.

Nasionalisme adalah pencerahan yang bersandar pada akumulasi pengalaman penjajahan (kolonisasi) dan harus dibumikan pada pengalaman aktual. Merdekakah kita ketika penggusuran masih terjadi dan pers masih direstriksi? Merdekakah kita ketika makna bahasa masih dihegemoni dan pendidikan ternyata tidak mencerdaskan? Makmurkah kita ketika kemiskinan masih merajalela di tanah nenek moyang kita sendiri? Merdekakah kita ketika kesenjangan sosial dan politik begitu jauh? Merdekakah kita bila tidak ada jaminan perlindungan dan keadilan hukum? Merdekakah kita bila sistem ekonomi dunia menyudutkan negara berkembang? Dan berbagai igauan semacam ini mengalir deras dalam mimpi anak negeri, seolah menggaungkan kembali apa yang dijeritkan para intelektual kita di masa lalu.

Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit yang membela bangsa apapun alasannya. "Right or wrong is my country" adalah sentimen berlebihan atas bangsa yang dapat berbuah rasialisme dan memperkosa kemanusiaan dan kebenaran. Nasionalisme kita tidak sekedar mengabdi pada sebentuk negara politis semata-mata, tapi lebih pada bangsanya, nasib warga di dalamnya. Dengan demikian kemanusiaan adalah panutannya, dan ke-Tuhanan adalah dasarnya. Nasionalisme tidak mati, dia hidup di hati rakyat Indonesia, termasuk pemudanya. Ada baiknya kita simak pernyataan "Sumpah mahasiswa" [xxv] di era 1980-an ini yang mengaku:

"Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan.
Berbahasa satu, bahasa kebenaran."
Tiga poin pokok yang muncul (tanpa penindasan, keadilan, dan kebenaran) adalah diskursus nasionalisme masa kini yang menghadirkan kembali seruan kritis para pendahulu bangsa. Adalah betul bahwa para pemuda generasi sekarang tidak mengalami masa penjajahan dan revolusi, tapi adalah naif bila dikatakan bahwa mereka tidak dapat berempati atas pengalaman itu dan tercerabut dari nasionalisme. Dulu adalah dulu dan sekarang adalah sekarang. Tapi pengalaman nasionalisme dulu pun hadir di masa sekarang meski berbeda dalam wujud dan strukturnya. Perjuangan atas cita-cita nasionalisme belumlah berhenti, tapi disambut oleh generasi sekarang untuk meneruskannya.

Bulaksumur, 26 September 1996


[i] Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Angkatan 1990. Naskah ini pernah dipresentasikan dan menjadi Pemenang Pertama Lomba Penulisan Essai Mahasiswa Tingkat Nasional oleh Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1996
[ii] Rendra, "Demi Orang-Orang Rangkas Bitung," dalam Orang-Orang Rangkas Bitung, Bentang Intervisi Utama, Yogyakarta, 1993
[iii] Louis L. Snyder, The Meaning of Nationalism, Rutgers University Press, New Jersey, 1954, h. 72
[iv] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, di bawah Bayang-Bayang Nihilisme, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta, 1993, h. 123
[v] Argumen ini berdasarkan bahwa bentuk "nasionalisme" pra-modern lebih mengacu pada komunitas tradisional seperti kesukuan dan ras. Sedang pada nasionalisme modern mendapat bentuk baru yang melampaui kedaerahan dan ikatan darah. Selain itu diperlukan suatu batasan yang dapat mempersempit ruang diskursusnya sendiri.
[vi] Francois Furet - Denis Richet, Revolusi Prancis, diterjemahkan oleh Team Penerjemah Lembaga Indonesia Prancis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1989, h. 9.
[vii] Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, h. 58
[viii] Ibid, h. 61
[ix] Ross Poole, op. cit. h. 94-95
[x] Ross Pole, ibid h. 117
[xi] Albert Camus, The Rebel, An Essay on Man in Revolt, diterjemahkan oleh Anthony Bower, New York Vintage Book, USA, 1956, h. 22
[xii] Ross Poole, op. cit. h. 121
[xiii] Lihat hasil penelitian Takashi Shiraishi, ""Satria" vs "Pandita", Sebuah Debat dalam Mencari Identitas", dalam Akira Nakazumi (editor), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang (Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986
[xiv] Geertz memandang gerakan nasionalisme sebagai "Revolusi Integratif". Lihat Clifford Geertz, Politik Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, terutama Bab 3 berjudul "Revolusi Integratif: Sentimen-Sentimen Primordial dan Politik Sipil di Negara-Negara Baru", h. 75-137, meskipun Geertz agak pesimis memandang revolusi integratif itu dengan mengajukan sederet fakta yang justru menunjukkan terjadinya disintegrasi, namun hal ini dapat diterima sebagai kritik atas sebuah proyek integrasi yang dapat terjebak pada disintegrasi.
[xv] Ross Poole, op. cit. h.27
[xvi] Louis L. Snyder, op. cit. h. 58
[xvii] Yang layak diperdebatan sebenarnya adalah arah kebudayaan nasional sendiri, artinya juga arah kebudayaan lokal di Indonesia, menghadapi globalisasi. Hal ini terutama akan berimplikasi pada suatu penyikapan kongkrit nasional tentang nasib budaya daerah.
[xviii] Karl Marx, On The Jewish Question, dikutip oleh Ross Poole, op. cit. h. 141
[xix] Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London, Verso, 1983, h. 15
[xx] Mochtar Probotinggi, Rentang Nasionalisme Kita, dalam Harian Kompas, 22 September 1993
[xxi] Manuel Kaisiepo, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, dalam Harian Kompas, 30 Pebruari 1995, namun Manuel juga menyadari bahwa interpretasi Revolusi Indonesia tetap memiliki dimensi misteri, yaitu suatu pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan kepastian, tapi menawarkan penyelidikan-penyelidikan baru yang berharga.
[xxii] Istilah ini diperdebatkan dalam sebuah Panel Forum Indonesia Pasca Nasionalisme yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif-Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada tanggal 21-22 April 1993 di Yogyakarta.
[xxiii] Clifford Geertz, op. cit. h. 80, cetak tebal oleh penulis.
[xxiv] Louis L. Snyder, op.cit. h. 59
[xxv] Sayang sekali belum ada studi mendalam tentang lahirnya Sumpah Mahasiswa. Sebagian mahasiswa menyatakan bahwa pernyataan ini pertama kali dibacakan di Yogyakarta di tahun 1980-an. Namun menarik sekali bahwa pernyataan ini begitu populer di kalangan aktivis dan intelektual kampus di Indonesia, bahkan sering dituliskan di pamflet-pamflet atau spanduk-spanduk demonstrasi.

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search