Friday, June 27, 2008

Hantu Baudrillard (1)

Perang Teluk tak pernah terjadi, kata dia.


Dunia pascamodernisme berduka cita ketika Michel Delorme, direktur Galilee dan penerbit Baudrillard, mengumumkan bahwa filsuf kontemporer Prancis, Jean Baudrillard, telah wafat dalam usia 77 tahun pada 7 Maret 2007 di Paris. Baudrillard meninggal setelah lama berjuang melawan kanker.


Berhadapan dengan duka, biasanya kita mencoba mengingat lampau. Tapi, filsuf berwajah bundar dan berkacamata tebal-besar itu seringkali terkesan misterius. Dia menolak mengungkap masa lalunya dan sering menjawab pertanyaan tentang sejarah pribadinya dengan kalimat pendek, "Tak ada latar belakang."




Sejumlah kolega-kolega Prancisnya, tulis The Economist, menggambarkan dia terlalu banyak ribut, nakal, dan bukan anak sekolahan. Gambaran yang berlebihan dan sebagian, tentu saja, keliru.


Baudrillard tentu punya masa lalu, tapi ia bersikeras memisahkan dirinya dari hal tersebut. John Lechte dalam Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernity (1994) memastikan bahwa Baudrillard lahir pada 1929 di Reims, Prancis.


Kakeknya petani, sedangkan orangtua Baudrillard mulai memasuki dunia modern dengan menjadi pegawai negeri kecil. Keluarganya bukanlah keluarga intelektual dan Baudrillard harus berjuang keras untuk menjadi orang pertama dari keluarganya yang melakukan kerja intelektual secara serius: masuk universitas.


Dia sempat bekerja sebagai guru sekolah menengah atas dan penerjemah sastra Jerman selama beberapa tahun sebelum kuliah untuk meraih gelar doktor di Universitas Paris, Nanterre, jantung gerakan mahasiswa Prancis era 1960-an.


Pada 1966 dia menyelesaikan penulisan sebuah tesis sosiologi di Nanterre bersama Henri Lefebvre. Kemudian Baudrillard sering dikait-kaitkan dengan Roland Barthes di Ecole des Hautes Etudes. Pada masa inilah dia menulis sebuah artikel penting tentang objek dan fungsi tanda dalam jurnal Communications pada 1969.


Ketika kerusuhan Mei 1968 pecah dan gas air mata serta lemparan batu berhamburan di kampusnya, dia terpuruk di kaki Levebre dan Barthes. Aksi mahasiswa ini mengerikan, tapi juga memikatnya, mendorongnya menjadi kaum kiri dan menggali filsafat Karl Marx.


Belakangan Baudrillard bercerai dari Marx (meskipun tak sepenuhnya meninggalkannya) karena menilai sang bapak komunisme itu konservatif. Baginya, baik komunisme maupun kapitalisme sama-sama membuat eksistensi manusia menjadi masalah produksi dan pertukaran, padahal dia menekankan pentingnya sisi simbolik manusia.

Dua buku awalnya, The System of Objects (1968) dan The Consumer Society (1970), mencerminkan minatnya yang besar terhadap tanda dan simbol dalam dunia yang digerakkan komoditas. Sejumlah penulis menunjukkan bahwa periode awal Baudrillard ini masih menunjukkan pengaruh pemikir di sekitarnya, terutama The System of Objects yang dianggap menggemakan The Fashion System (1967) karya Barthes.


Pada perkembangannya dia meninggalkan teori berbasis ekonomi dan menggeluti media dan komunikasi massa, meski masih mengacu pada strukturalisme Ferdinand de Saussure dan teori pertukaran simbolik yang dipengaruhi antropolog Marcel Mauss. Kini dia merapat ke Marshall McLuhan, yang mengembangkan gagasan bahwa hakikat hubung sosial ditentukan oleh bentuk-bentuk komunikasi yang diterapkan masyarakat.


Hingga akhirnya dia tiba pada "teori simulasi". Teori ini cenderung mensimulasi, menangkap, dan mengantisipasi peristiwa sejarah. Kondisi masa kini, katanya, jauh lebih fantastis daripada yang bisa dipahami teori, sehingga teori hanya bisa menangkap yang terlintas sekarang untuk mengejar masa depan.


Baginya inilah "akhir sejarah", pandangan yang menyimpang dari tesis Francis Fukuyama. Fukuyama menilai jatuhnya Komunisme Soviet membawa kemanusiaan ke akhir sejarah dan selanjutnya mesin dialektika global merampungkannya dengan kemenangan kapitalisme liberal.

Di mata Baudrillard, akhir sejarah itu bukannya kapitalisme dan demokrasi universal atau kemenangan revolusi proletariat. Sejarah sudah berakhir kini ketika manusia jogging sendirian, lupa akan sekelilingnya, asyik menikmati musik dari perangkat stereonya sendiri, dan hanya memperhatikan pernyataannya soal dirinya mengenai kesehatan, busana, daya tahan, dan seterusnya. Ia berlari lurus kedepan, tapi tanpa tujuan.


[to be continued...]

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search