Wednesday, June 25, 2008

Untuk Sebuah Bangsa

Adakah sebuah bangsa dalam sepak bola?


Pada suatu masa sepak bola pernah mengajarkan tentang nasionalisme, sebentuk identitas yang ditanamkan di sebuah ladang bernama tanah air. Karena prestasi adalah salah satu syarat dari kebangsaan--sebagaimana digariskan sejarawan Sartono Kartodirdjo--maka bola jadi bagian di dalamnya.



Saya ingin mengutip sebuah memoir dari P. Pospos, Aku dan Toba: Tjatatan dari Masa Kanak-kanak (Balai Pustaka, 1950). Paian Sihar Naipospos, nama lengkap sang pengarang, bukan bintang lapangan hijau. Lelaki kelahiran Tapanuli pada 1919 itu adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan pernah bekerja di Badan Penerbit Kristen di Jakarta.


Ada yang menarik dari memoir kecil ini: dia menulis satu bab khusus untuk pertandingan sepak bola di kampung halamannya. Tampaknya peristiwa ini begitu penting sehingga dia memutuskan untuk memberinya tempat tersendiri.


Pospos merekam sebuah pertandingan sepak bola antara kesebelasan sekolahnya, Meer Uitgebreide Lagere Onderwijs (MULO), melawan kesebelasan dari sebuah garnisun militer lokal di Tarutung, Sumatera Utara. Pertandingan ini tampaknya dsudah ditunggu-tunggu, bahkan masyarakat Tarutung berharap besar akan terjadinya sesuatu.


Alasannya demikian. Di masa kolonial itu, para serdadu lokal tersebut mengidentifikasi dirinya sebagai "orang Kompeni", si penjajah. Adapun para pelajar di sekolah setingkat SMP itu jelas memihak rakyat, pihak yang dijajah.


Kedua kubu itu sering bentrok dan bahkan pernah berkelahi hebat sehingga kepala sekolah harus datang dengan membawa pistol untuk membubarkan mereka. Kedua pihak dihukum tak boleh berkumpul lebih dari dua orang dan masing-masing kubu harus terpisah dalam jarak 20 meter.


Nah, pertandingan bola kali ini mempertemukan keduanya di lapangan. Peluang pecah perang besar, tapi kepala sekolah sudah mengancam akan menghukum siswanya yang bermain kasar.


Kesebelasan Pospos berjanji untuk tidak mengubah lapangan itu jadi arena adu jotos. Sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa anak-anak ingusan itu lebih piawai dalam bermain bola ketimbang para tentara. Pospos mengisahkan bahwa pertandingan itu tidak kasar, tapi fors --ketat dan keras. Dia juga berbuih-buih memaparkan betapa hebat timnya mengocok bola dan menguasai lapangan. Skor terakhir 2-0 untuk kemenangan tim MULO.


Memoir ini tak berkotbah soal gerakan antikolonial. Tapi kita dapat menangkap aroma perlawanan itu dalam penonjolan pertandingan sepak bola ini. Kemenangan tim Pospos adalah kemenangan untuk sebuah bangsa.


Tapi, adakah sebuah bangsa dalam sepak bola kini?


Sepak bola kini adalah sebuah gejala, atau lebih tepatnya bentuk paling nyata, dari globalisasi. Klub-klubnya sudah jadi seperti perusahaan multinasional dan para pemain bintang jadi komoditas yang diperdagangkan lintas negara.


Maka, nasionalisme sebenarnya menjadi pertanyaan ganjil, tapi bukan mustahil. Ajukanlah itu pada Lukas Podolski, penyerang muda di tim Jerman pada Euro 2008.

Pemain berbakat itu membobol gawang tim Polandia dua kali pada pertandingan Ahad lalu. Jerman menang, tapi Podolski suram. "Aku tidak merayakannya, karena Polandia adalah bagian dari jantungku," katanya.


Gliwice, kota industri di selatan Polandia, adalah kampung kelahiran yang ditinggalkannya ketika dia berusia dua tahun. "Anda harus punya semacam penghormatan kepada sebuah negeri," kata pemuda berusia 23 tahun itu.


Sebuah bola dan sekeping dilema. Mungkin itulah yang tersangkut di jantung para pemain berkewarganegaraan ganda.


(Tulisan ini diterbitkan pertama kali pada liputan khusus Euro 2008 Koran Tempo edisi 15 Juni 2008.)

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search