Friday, July 31, 2009

Di Hadapan Hukum oleh Franz Kafka

DI HADAPAN berdiri seorang penjaga pintu. Kepada penjaga ini datanglah seorang lelaki dari dusun dan berdoa meminta ijin masuk ke dalam Hukum. Tapi penjaga pintu itu mengatakan bahwa dia tak bisa memberikan izin masuk saat itu. Lelaki itu mengira Hukum sudah tutup dan bertanya apakah dia akan diizinkan masuk nanti. "Mungkin saja," jawab sang penjaga, "tapi tidak saat ini."

Ketika pintu terbuka, seperti biasa, penjaga itu melangkah ke satu sisinya, lelaki dusun itu lalu membungkuk untuk mengintip ke dalam melalui pintunya. Mengetahui hal ini, si penjaga tertawa dan berkata: "Jika kau begitu tertarik padanya, coba saja masuk meskipun aku larang. Tapi ingatlah: Aku sangat kuat. Dan aku hanyalah satu saja dari banyak penjaga. Dari ruang ke ruang ada seorang penjaga di setiap pintunya, setiap penjaga lebih kuat dari penjaga sebelumnya. Penjaga ketiga begitu mengerikannya sehingga aku sendiri tak mampu melihatnya." Kesulitan-kesulitan ini tidaklah diharapkan oleh lelaki dari dusun itu. Hukum, menurutnya, seharusnya benar-benar bisa dicapai setiap waktu dan oleh setiap orang. Tapi kini ketika dia memperhatikan lebih teliti penjaga pintu itu, pada jubah bulu binatangnya, hidungnya yang besar, panjang, dan tajam, dan jenggot Tartar hitamnya yang jarang-jarang, dia memutuskan bahwa lebih baik menunggu saja sampai dia diizinkan masuk. Penjaga itu memberinya sebuah bangku dan membiarkannya duduk di satu sisi dari pintu itu. Dia duduk di sana berhari-hari dan bertahun-tahun. Dia berusaha dengan berbagai cara agar diizinkan masuk dan mengiba-iba tanpa kenal lelah kepada penjaga itu. Penjaga itu sering bercakap-cakap dengannya, bertanya tentang rumahnya dan tetek bengek lainnya, tapi pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dengan acuh tak acuh, seperti para bangsawan besar bertanya, dan selalu berakhir dengan pernyataan bahwa penjaga itu tak membolehkannya masuk. Lelaki itu, yang membekali dirinya dengan banyak barang untuk perjalanan ini, mengorbankan segala yang dimilikinya, meski sangat berharga sekali pun, untuk menyogok penjaga itu. Penjaga itu menerima apa saja tapi selalu dengan balasan: "Aku hanya mengambilnya supaya kamu berpikir bahwa kamu telah menghilangkannya." Selama bertahun-tahun lelaki itu menyogok penjaga itu hampir tanpa berhenti. Dia lupa bahwa masih ada penjaga-penjaga lain dan yang pertama ini tampak baginya sebagai satu-satunya penghalang memasuki Hukum. Sejak awal dia mengutuk penjaga itu agar mendapat kemalangan dengan berani dan keras; kemudian, ketika dia bertambah tua, dia hanya bisa menggerutu di dalam hati. Dia menjadi kekanak-kanakan, dan sejak masa yang lama dia memperhatikan si penjaga dia bahkan bisa mengenali kutu-kutu di jubah bulunya dan meminta kutu-kutu itu menolongnya untuk mengubah pendirian sang penjaga pintu. Lama-lama pandangan matanya mulai kabur, dan dia tak tahu lagi apakah dunia ini sungguh-sungguh lebih kelam ataukah matanya hanya menipu dirinya. Maka dalam kegelapan dia sekarang menyadari adanya sebuah cahaya yang memberkas tanpa pernah padam dari gerbang Hukum itu. Sekarang hidupnya tak akan bertahan lama. Sebelum dia mati, semua pengalamannya selama bertahun-tahun ini menggumpal di kepalanya menuju satu titik, sebuah pertanyaan yang dia belum ajukan kepada penjaga itu. Dia melambaikan tangan meminta penjaga itu mendekat karena dia tak lagi mampu mengangkat tubuh kakunya. Penjaga itu harus membungkuk padanya karena perbedaan tinggi di antara mereka telah membuat banyak kemalangan kepada lelaki itu. "Apa yang ingin kau ketahui sekarang?" tanya penjaga itu, "kau tak pernah puas tampaknya." "Setiap orang berjuang untuk mencapai Hukum," kata lelaki itu, "maka bagaimana mungkin bisa terjadi selama bertahun-tahun ini tak ada seorang pun kecuali diriku yang pernah meminta izin masuk?" Penjaga itu paham bahwa lelaki itu telah mencapai titik akhirnya, dan, untuk membiarkan perasaan kalahnya itu bisa memahami kata-katanya, dia berteriak di telinganya: "Tak ada orang lain yang mungkin diizinkan masuk ke sini karena pintu ini dibikin hanya untukmu. Sekarang aku harus menutupnya."

----
Diterjemahkan oleh Kurniawan dari "Before the Law" dalam Franz Kafka, Parables and Paradoxes (Schocken Books, 1958).

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search