Thursday, July 30, 2009

Senja Ungu

Oleh Aulia Andri

Surat beramplop putih agak kekuningan itu diantar bersama dengan setumpuk surat-surat lainnya. Terselip, terhimpit surat-surat dinas untuk pak Lurah. Pasti tak ada yang istimewa dari surat itu. Lihatlah warna amplopnya yang putih sudah agak kekuningan. Pasti surat itu sudah terlampau lama ditumpuk di kantor pos. Juga prangko yang tertempel di sudut kanannya, sudah hampir terkelupas dan fashionable.



Dari tangan hansip kelurahan yang menerima setumpuk surat yang didalamnya ada surat beramplop putih agak kekuningan itu, lalu jatuh kepada sekretaris kelurahan. Wanita muda dan cantik dengan seragam pegawai negeri itu lantas memeriksa satu per satu surat-surat. Memisahkannya menurut penting atau tidaknya surat-surat itu untuk segera diketahui pak Lurah. Tangannya begitu cekatan, "Dari Parmin di Desa Timbul," bibirnya bergumam pelan. Wuzzz.. Surat itu melayang ke keranjang sampah di dekat kakinya, bersama surat-surat lain yang sudah terlebih dahulu mendiaminya.

"Dari...???" Wanita itu membalik-balik surat beramplop putih agak kekuningan yang kini ada ditangannya. Matanya mencari ke setiap sudut amplop merek AA itu. Penasaran dia mencari sesuatu di amplop itu. Dibolak-baliknya surat itu beberapa kali tetapi tak dijumpainya tertulis nama pengirim.

"Dasar usil, ngirimi surat kaleng kok ke kelurahan, ke presiden kek. Biar di-tin-dak-lan-juti," katanya mengeja kata terakhir.

"Tapi.." sekretaris kelurahan itu jadi terkejut ketika memperhatikan tujuan surat itu. "Kepada: Yang Terhormat," dia bergumam membaca tulisan yang ada di bagian depan surat beramplop putih agak kekuningan itu. Tak ada lagi tulisan lain selain itu. Wah ini surat misterius amat, batin wanita itu.

Mungkin buat pak Lurah, wanita itu berkata dalam hati lagi. Tanpa pikir panjang lagi surat itu diletakkannya dengan baik-baik di atas meja, bersama surat-surat penting lain untuk pak Lurah.

Menikmati siaran HBO dari televisi kabel, sambil ditemani sebatang rokok Marlboro, pak Lurah sibuk membaca surat-surat yang baru masuk buatnya diantar sekretaris kelurahan. Ditangannya kini ada surat dari pak Gubernur yang mengabarkan akan berkunjung ke kelurahan ini pekan depan. Ini sih urusan kecil, besok dia tinggal memerintahkan masyarakat untuk bergotong royong membersihkan jalan dan parit-parit. Pak Gubernur tentu akan senang karena kawasan kelurahannya bersih. Dan dia tentu akan dipuji, begitu kata pak Lurah dalam hati.

Berikutnya, dengan tangan kiri dia mengambil surat lain di atas meja. Kali ini sebuah surat dari sebuah lembaga sosial yang diketuai isteri seorang pejabat tinggi. Isinya, mereka minta dia segera mengirimkan laporan pemakaian dana Jurang Pemisah Kesusahan (JPS). Huh. dia mencibir, kalau ini sih urusan yang lebih gampang. Besok juga dia akan mengirimkan laporan itu ke lembaga sosial itu.

Pak Lurah kemudian meraih surat berikutnya. Keningnya lantas berkerut, di bolak-baliknya surat beramplop puti agak kekuningan itu. Sudah tiga kali dia membaca tujuan surat itu.

"Asihhh...," pak Luruh berteriak memanggil wanita sekretaris kelurahan tadi.

"Kamu tahu surat ini untuk siapa?" diacungkannya surat beramplop putih agak kekuningan itu, saat Asih sang sekretaris kelurahan sudah ada di hadapannya.

"Ini pasti surat buat pak Camat. Coba kamu baca Asih, disini tertulis, Kepada: Yang Terhormat. Kirim segera surat ini ke pak Camat," perintah pak Lurah tegas.

*****

Di kantornya pak Camat bersafari masih sibuk dengan handphone-nya. Bicaranya tampak begitu berhati-hati. Pun raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Persoalannya, beberapa proyek perintah pak Bupati belum dapat diselesaikannya. Sebenarnya ini karena masalah ganti rugi tanah penduduk kampung di tepi kali yang katanya terlalu kecil.

"Baik pak. Ya..ya, saya mengerti, pak,"

"Akan segera saya laksanakan, pak," pak Camat mengakhiri pembicaraanya, nafasnya ditarik dalam-dalam. Matanya nanar memandang ke seluruh ruangan. Cepat diraihnya sebotol coca cola dingin dari kulkas di sudut ruangan.

Setelah nafasnya kembali teratur, pak Camat kemudian duduk kembali di kursinya dan meraih surat-surat yang menumpuk di atas meja dihadapannya. Matanya kemudian membaca satu per satu surat-surat tersebut.

Surat berwarna kekuningan itu lagi. Mata pak Camat mendelik, dibacanya lagi dengan seksama tujuan surat itu. Hampir saja dia terjatuh dari kursi empuknya karena buru-buru meraih handphone-nya di sudut meja.

"Selamat pagi, pak. Ya, saya lagi, pak," ujarnya terburu-buru.

"Ada sesuatu yang penting, pak. Sebuah surat, saya yakin ini pasti untuk bapak," pak Camat bersafari ini berhenti sebentar.

"Ya, segera saya antarkan, pak," tukasnya dengan mantap.

*****

Surat beramplop putih agak kekuningan itu berada di tangan pak Bupati. Di bolak-baliknya surat itu, ditimang-timangnya. Otaknya bekerja keras. Dia benar-benar ragu untuk membuka surat yang ditujukan kepada yang terhormat itu.

Entah sudah berapa kali dibacanya sebaris tulisan di bagian depan amplop itu. Mondar-mandir dia memikirkan persoalan surat yang ada di tangannya itu.

"Surat itu pasti untuk, bapak," pak Camat bersafari mencoba memberi pertimbangan.

Langkah pak Bupati berhenti, matanya menatap tajam pak Camat yang duduk di sofa di depannya.

"Tidak mungkin, disini hanya tertulis, Kepada: Yang Terhormat. Anda pasti mengerti, saya bukanlah orang yang terhormat di sini. Masih banyak orang yang terhormat di negeri ini. Bayangkan saja, diatas saya masih ada pak Gubernur, pak Dirjen, pak Menteri bahkan pak Presiden. Kamu bayangkan itu! Kedudukan saya bakal terancam jika saya berani-beranian membaca surat untuk mereka ini," pak Bupati berhenti bicara sambil mengacungkan surat itu ke wajah pak Camat.

"Tapi, pak.." pak Camat mencoba membantah.

"Tidak ada tapi-tapian. Sekarang juga kita mengahdap pak Gubernur. Surat ini harus segera sampai ke tangan beliau," tukas pak Bupati.

*****

Surat beramplop putih agak kekuningan itu kembali tersuruk di tumpukan surat-surat buat pak Gubernur. Setelah pak Camat dan pak Bupati mengantarkan surat itu sore tadi, pak Gubernur belum sempat membacanya.

Saat malam turun dengan jubah-jubah kegelapannya. Saat orang-orang bermimpi tentang negeri di awan. Saat benda-benda mati bengkit dari kebisuannya. Saat mereka bercerita satu dan yang lainnya.

Di ruangan kantor pak Gubernur yang dingin ber-AC, setumpuk surat masih asyik ngobrol. Berisik sekali kedengarannya. Mereka bahkan tak memperdulikan ketika jam dinding berteriak-teriak memperingatkan mereka untuk beranjak tidur. Surat-surat itu tetap saja dengan santai berbagi cerita. Kini rupanya giliran sebuah surat amplop putih bersih dengan lambang lembaga tinggi negara untuk bercerita. Surat itu menceritakan soal kesaktiannya yang akan menundukkan pak Gubernur. Dia sangat yakin, isi suratnya akan membuat pak Gubernur mati ketakutan ketika membacanya besok. Surat itu dengan pongahnya terus bercerita. Dan surat-surat yang lain hanya bisa mendengar terkagum-kagum. Begitu juga surat beramplop putih agak kekuningan tersebut. Ia terdiam sambil melipat tubunya lebih kecil.

"Hei." Tiba-tiba saja sebuah surat yang lain menoleh padanya. Surat beramplop putih agak kekuningan tersebut terkejut. Ia tersentak.

"Dari tadi kau hanya diam saja. Bisakah kamu menceritakan isi suratmu itu?" kata surat itu.

"Ya, ya, ya." serempak yang lain menjawab.

"Bentukmu paling aneh dari kami semua. Lihatlah warnamu yang sudah agak kekuningan itu. Tentunya kau sudah lama sekali mengembara. Kabar apa yang kau bawa sebenarnya," sahut sebuah surat beramplop bagus yang lain.

Surat beramplop putih agak kekuningan itu bertul-betul bingung. Ia jadi malu dengan keadaanya. Tapi dipaksakan hatinya untuk bercerita. Ia sebenarnya takut untuk menceritakan hal ini pada surat-surat yang lain. Ceritanya nanti tentu tak akan lebih menarik dan lebih seru dibanding cerita surat yang lain. Tapi setelah menarik nafas dan memejamkan mata, ia pun mulai bercerita.

Lalu perlahan bagai sebuah tirai layar mengalirlah sebuah cerita klasik. Sebuah pergumulan antara si kuat dan si lemah. Di sebuah desa di tepi kali, wajah ibu-ibu hamil, pos ronda tempat para bapak berkumpul malam hari, anak-anak SD yang berlarian di gang sempit, semua mengalir dari surat beramplop putih aagak kekuningan itu. Namun, semua gambaran kedamaian itu tiba-tiba saja lenyap diberangus sepatu-sepatu lars, suara bising bulldozer, teriak kesakitan, ceceran darah, dan asap yang mengepul dari rumah yang sengaja dibakar.

Si lemah berduka, semua habis dalam sekejab. Surau yang mereka dirikan dengan bergotong royong sudah rata dengan tanah. WC umum juga sudah duluan habis dibakar. Pos ronda cuma tersisa atapnya saja. Semua tertunduk, mereka tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis.

Surat beramplop putih agak kekuningan itu cepat-cepat mengakhiri ceritanya. Nafasnya terengah-engah dan sesak. Matanya berkunang-kunang karena digenangi air mata. Sejurus kemudian ketika memandang ke sekeliling ia terkejut, semua surat menangis. Tubuh mereka tersentak-sentak menahan haru yang dalam. Lalu meja pak Gubernur basah oleh air mata. Surat beramplop putih agak kekuningan itu terdiam, ia sudah tak bisa menangis lagi.

Menjelang pagi surat-surat itu berangkulan. Mereka berpelukan erat berbagi kedukaan. Kemudian atas kesepakatan bersama surat beramplop putih agak kekuningan itu diletakkan pada tumpukan paling atas. Agar besok ia yang dibaca pak Gubernur pertama sekali.

-----
Catatan: diterbitkan sebelumnya pada 17.09.2002

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search