Monday, April 02, 2001

Festival Film Tiga Benua: Mengapa Telegram Gagal Meraih Penghargaan

[ Pasokan dari Indonesia dalam festival Film Tiga Benua sudah tercatat baik dengan terpilihnya film Telegram yang disutradarai Slamet Rahardjo untuk maju. Film tersebut merupakan satu dari 10 film yang dijagokan para juri. Tapi, mengapa dia tak mendapat penghargaan? Savitri Scherer mencoba menguraikannya. Terima kasih pada Ajianto yang memforward artikel ini.]


Beberapa pengamatan dari Festival Film Tiga Benua yang ke-22 di Nantes, Perancis Barat, 21 - 28 Nopember, 2000. Peragaan film ''Telegram'', dengan sutradara Slamet Rahardjo Djarot, dan penyunting Catherine d'Hoir. Produksi bersama Indonesia-Perancis, (Artcam Netherlands bersama Artcam Int.)

Pasokan dari Indonesia, dalam festival ''Film Tiga Benua'', sudah tercatat dengan baik dengan terpilihnya film ''Telegram'' yang disutradarai sineas kondang Indonesia, Slamet Rahardjo (lahir 1949), untuk dijagokan. Film tersebut, merupakan salah satu film, dari 10 film yang dijagokan oleh para juri untuk diundi. Seluruh film yang diperagakan sebanyak 70 film. Semua berasal dari berbagai ujung-ujung dunia, di luar Eropa.

Untuk catatan pembaca, film yang akhirnya dimenangkan dan menerima pilihan, baik dari team juri Dewasa, (yang mewakili pengunjung dewasa dari para ''profesional'', para kiritikus, wartawan, mahasiswa dan semacamnya), dan oleh team juri Muda (yang mewakili pengunjung generasi muda berusia 14-21 tahun) dari festival film yang telah berjalan selama 22 tahun ini, adalah film dari Kazakhstan, ''Tiga Bersaudara''. Film tersebut merupakan hasil bersama Kazakhstan dan Inggris, dan menerima multi dana antara lain dari Jepang (Sinju Sano) dan Inggris (East Cinema Production). Film ini disutradarai, Serik Aprymov yang lahir di tahun 1960.

Tapi piala emas diraih oleh film produksi bersama Cina dan Perancis, ''Zhantai'' (''Emperan/kaki lima''), yang disutradarai oleh sutradara muda Jia Zhang Ke (lahir 1970), dan disunting oleh Kong Jinglei. Usaha bersama Cina Perancis ini juga didanai oleh Artcam Internasional yang juga turut memberikan masukan dana dalam film Indonesia ''Telegram''. Kemudiannya piala perak telah diraih oleh film produksi Iran ''Koudak Va Sarbaz'' (''Si Ucok dan Serdadu'') dengan sutradara Reza mir-Karimi (lahir 1966), dengan penyunting Nazanin Mofakham. Film ini di danai oleh Makhmalbaf Film House. Mungkin ada baiknya untuk di catat bahwa Mohsen Makmalbaf adalah juga seorang sutradara kondang Iran, yang lahir di tahun 1957. Dalam festival Nantes yang ke-22 ini, hasil kreasinya sempat juga diperagakan. Kali ini diperagakan di luar kompetisi, dengan film yang berjudul ''Gabbeh'' yang menggambarkan kehidupan suatu suku nomad di bagian Tenggara Iran.

Sebagai pengamat asing yang bukan berbangsa Iran, pemirsa mana tahu, apakah film-film bermutu, pasokan dari Iran yang diperagakan dalam festival kali ini , semacam ''Si Ucok ...'' atau ''Roozi keh zan Shodam'' (''Suatu hari ketika saya menjadi wanita'') yang disutradarai oleh sutradara wanita Marzieh Meshkini yang juga telah menerima pujian khusus dari team juri Dewasa bersama film ''Si Ucok'' itu, juga merupakan wakil-wakil film yang dapat meraup pasaran yang memadai di Iran sendiri. Dalam film festival kali ini, ada sebanyak selusin film Iran dari berbagai sutradara diperagakan, dengan dua diantaranya terpilih untuk di kompetisikan. Yang menarik, berbagai film Iran tersebut yang menerima begitu banyak pujian dalam festival, adalah film yang juga di danai oleh kocek mereka sendiri.

Ini menunjukkan, terlepas dari dukungan resmi pemerintah Iran sendiri, dalam konteks industri perfilman Iran, sutradara seperti Makhmalbaf ternyata cukup juga mempunyai kekuatan dana, untuk membiayai film yang di-idamkan oleh para kelompok elite dan cendekiawan di negara Iran sendiri. Walaupun kita mengambil perhitungan politik internasional masa kini, yaitu di tahun 2000, di mana persaingan budaya terjadi ''mengeras'' antara dunia ramai (khususnya dari dunia Eropa Barat yang 'demokratik') yang menghadapi Iran (yang membawakan masyarakat Shia Islam), bersama dukungan dari masyarakat cendekiawan Iran di Eropa, ada sesuatu yang menyambung, yang telah dapat menggolkan citra Iran yang membawakan citra khusus (sistim pola pemikiran hukum, filsafat hidup, hubungan kekeluargaan, kemasyarakatan dan semacamnya) yang bukan merupakan tiruan imitasi maupun bayangan dari kehidupan masyarakat Eropa Barat.

Terlepas dari masalah tuduhan dunia ramai mengenai pelecehan HAM di Iran, terlihat dari film-film yang diperagakan (yang tidak dapat tidak harus juga merupakan film hasil kocokan propaganda resmi), menggambarkan keabsahan dari masyarakat Iran itu yang juga mempunyai hak hidup untuk membawakan wajah mereka sendiri dengan dinamika mereka sendiri. Dapat di mengerti bila buah pikiran cendekiawan Iran (sutradara dan penulis merupakan bagian dari dunia cendekiawan) bisa dilihat sebagai suatu tawaran alternatip untuk suatu gaya hidup, yang mungkin dapat dipertanggung jawab-kan. Tentunya tergantung dari bagaimana sistim alternatip yang mereka jual melalui film dapat meyakinkan warga Iran dan dunia, bahwa sistim itu ''melindungi'' hak asasi warganya.

Mungkin ada baiknya bila kita menelusuri peragaan film ''Si Ucok'' ini. Yang di-ketengahkan dalam film secara canggih, adalah inter-aksi yang lentur antara peraturan birokrasi yang di buat untuk mengatur jadwal rutin tugas ketentaraan, peraturan syariah yang di buat untuk menerapkan tingkah laku individu di masyarakat dengan peraturan pribadi sipil yang di buat tokoh-tokoh perorangan di masyarakat itu untuk mengatur hubungan mesra mereka sesama warga sipil. Apakah kelenturan tersebut hanya merupakan suatu mitologi, dan bayangan semu, bukan sesuatu kenyataan se-hari-hari, bagi pemirsa asing yang belum pernah menetap di Iran, tidak dapat membuktikannya. Tapi kenyataan, dari film-film yang menerima pujian, sesuatu kelenturan yang manusiawi dari kehidupan masyarakat di Iran telah berhasil dipaparkan. Terserah pada pemirsa sendiri mau percaya atau tidak bahwa masyarakat Iran itu termasuk masyarakat yang lentur dan ramah.

Kebetulan masalah wanita, dunia kanak-kanak di lingkungan urban, hubungan antara masyarakat sipil dan militer, nilai patriotisme, ikatan kekeluargaan, gaya hidup masyarakat minoritas, semua masalah yang aktual dalam dekade tahun 90an, telah digarap secara halus oleh para sineas Iran yang diperagakan dalam festival kali ini. Tema film yang diketengahkan menyangkut persoalan aktual yang tidak akan usang di makan waktu. Karena apa ? Karena masalah tersebut memberikan suatu tawaran alternatip dari gaya hidup dan gaya pemikiran intelektual (bukan hanya produk musiman). Sekali jalan diperagakan juga penghargaan para tokoh pada Al-quran, misalnya. Ini merupakan sesuatu yang khusus, apalagi untuk para pemirsa yang datang dari kebudayaan dan kepercayaan kehidupan beragama yang berbeda. Terlepas dari unsur propaganda yang telah dirangkum dengan canggih dan rapih, alur cerita mudah ditanggapi, tidak mempunyai pretensi, atau ''meng-ada-ada'' dengan penggambaran visual seronok yang menggambarkan gaya hidup kontemporer, apakah itu di tangsi militer dengan hubungan telepon yang brengsek, di pangkalan bis, di kota-kota, di pemukiman pedesaan, semua digambarkan dengan lugas, tanpa polesan yang artifisial.

Masyarakat umum di Indonesia sendiri mengetahui bagaimana aktor tenar Slamet Rahardjo dalam banyak film Indonesia (dari ''Ranjang Pengantin'' sampai''1928'' dan terakhir ''Cut Nya Dien''), adalah juga seorang pemain drama yang berbakat. Ia juga merangkap menjadi sutradara andalan dengan film perdana buatannya ''Rembulan dan Matahari'' yang telah meraih 3 piala citra dlm FFI 1980. Slamet Rahardjo (bersama Teguh Karya) adalah salah satu tokohsineas Indonesia yang elah menggarisi, dan memberi gincu pada perwajahan industri film di Indonesia selama tiga dekade. Suatu prestasi nasional yangmempunyai tempatnya tersendiri dalam khasanah budaya kontemporer Indonesia.

Penghargaan tersebut memang bersambut karena, Slamet Rahardjo adalah juga salah satu sutradara favourite, yang kerap kali dijagokan oleh para juri berbagai festival perfilman di Perancis. Suatu kebolehan yang telah dibuktikan sebelumnya dalam festival ini, dimana Slamet Rahardjo juga yang telah sempat menerima hadiah piala Jaques Demy, yang pertama kali diberikan dari pemerintahan kota Nantes dalam festival di tahun 1995, untuk kontribusinya secara retrospective dalam perfilman Indonesia. Sebelumnya di festival di Cannes, ia juga menerima pujian untuk penyutradaraan ''Langitku Rumahku''. Pantaslah mengapa peragaan kebolehan perfilman Indonesia di arena internasional telah jatuh di atas pundak Slamet Rahardjo. Kebetulan juga Rahardjo sendiri yang telah mempunyai prakarsa dengan menyodorkan uang muka dari kocek sendiri, untuk mendanai film ''Telegram'', dengan kerja-sama Perancis, sebelum krismon, Agustus 1997. Gara-gara krisis finansial Indonesia itu juga, dapat dibayangkan betapa kocek pribadi Rahardjo di pangkas, sehingga dana masukkan dari mitra Perancis Artcam Int., sangat-sangat dibutuhkan dan merupakan dewa penyelamat.

Dalam kompetisi pasaran bebas, secara tidak langsung, nilai-nilai laten dari budaya, yang terlihat ''sepele'' dan yang disandang secara otomatis, sebagai filsafat hidup oleh para penduduk awam, termasuk didalamnya tokoh-tokoh yang memerankan peranan tertentu di layar putih, atau di karya sastra tertulis, ataupun dalam pementasan suatu lakon di atas arena, seyogyanya dapat di pakai sebagai acuan, oleh pengamat asing maupun bangsa sendiri. Suatu film ataupun pertunjukkan yang menghibur dapat juga menunjukkan bagaimana suatu masyarakat membenahi dirinya. Dapat saja menunjukkan bagaimana mereka dapat memakai pola-pola kehidupan mereka yang dapat membuat masyarakat itu sukses disegala jaman, dan dalam menghadapi segala macam tantangan. Karya ''pelipur lara''picisan pun dapat mempunyai nilai demikian. Lihat saja ''Sound of Music'' yang sangat pop di tahun 60an.

Suatu problem kehidupan yang diketengahkan dalam medium komunikasi apapun, akan menyita sesuatu penyelesaian. Bila masalah-masalah tersebut di ketengahkan ber-tubi-tubi tanpa satu pun mencapai penyelesaian yang harmonis dan seronok dan masuk akal (bukan yang asal-asal-an dengan unsur menunggu durian runtuh, unsur kebetulan, ataupun klenik-klenik-an), bahwa persoalan yang dihadapi secara umum selalu berada dalam proses ''mengambang'', tidak pernah tuntas. Masalahnya, nyatanya pengutaraan semacam ini dalam kreasi seni, menggambarkan juga secara langsung dan tidak langsung, penjabaran dari kualitas kebolehan dan kelumpuhan intelektual dari masyarakat tadi untuk mengatasi problem mereka dengan usaha mereka sendiri.

Yang di cari oleh para pemirsa di pasaran ramai dari produk komunikasi audiodan visual, selain unsur penghibur lara dan pencuci mata, yang biasanyadapat di jual oleh film-film Amerika dan India dengan laris, adalah jugasuatu unsur kecerdikan maupun kemacetan dalam sesuatu pemikiran dimasyarakat dari delapan penjuru dunia. Supaya jangan merugi dan memboroskanwaktu masyarakat dunia kan ingin belajar dari satu masyarakat yang lain.Siapa tahu pengetahuan kita bertambah ? Mungkin pemirsa dapat menyimakpesanan terselubung dari film tersebut dan memakainya sebagai jalan keluardari beribu macam problem baru di masa mendatang.

Adalah selera kita-kita juga di pasaran ramai yang nantinya menentukan duniaapa sih yang kita mau, dan produk yang macam mana sih yang kita inginkanuntuk mempermudah rutin kehidupan kita sehari-harinya. Dalam kehidupandengan demokrasi yang bebas, boleh saja kita menghabiskan waktuber-iseng-iseng, ataupun sebaliknya mencoba memperbaiki sedikit segalasesuatu yang rapuh, usang atau menyengsarakan diri sendiri danmengsengsarakan masyarakat terdekat kita. Tapi apakah kebebasan untukmemilih ini dapat dipakai oleh siapa saja di dunia ini ? Manipulasi apa yangharus kita terapkan oleh kita yang menjadi anggota dari suatu masyarakatterpelajar untuk menjaga supaya kebebasan memilih tersebut selalu hadir,bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk masyarakat ramai, dansemoga pilihan tersebut merupakan pilihan yang ''benar'' berguna untukkesejahteraan bersama. Disinilah letak kekuatan potensial dari propaganda dunia perfilman yang dapat mencangkup lintas bahasa, dan bangsa. Pada saat ini Indonesia masih mempunyai hak bebas untuk memilih, film ''propaganda''yang macam mana yang mau kita pakai untuk menunjang kebudayaan dan filsafat hidup kita berbangsa. Sampai kapan kebebasan memilih tersebut, untuk menggambarkan citra bangsa Indonesia yang ber-adab (bukan yang salihbunuh-bunuh-an) dapat kita pegang ?

Jelas bahwa dalam kondisi kompetisi film internasional yang semacam, seperti dalam festival film ''tiga benua'' di Nantes, di mana film yang diperagakan adalah film-film bukan dari Eropa dan yang bukan berbahasa Inggris, Perancis, maupun Jerman dan bukan dari negara seperti Italia atau dari negara-negara Skandinavia, pendek kata bukan dari negara-negara yang dikenal telah mempunyai industri perfilman mantap, film-film yang datang dari, Indonesia atau Brazil dan Kazakhstan dapat diketengahkan melalui aturan main yang cukup ''fair''. Film-film tersebut yang sekarang masih berbau esotis untuk pemirsa di Eropa dapat diperagakan secara fair di-tengah-tengah peragaan film-film dengan industri lebih mapan, seperti dari India, Jepang atau HongKong. Anjang ini, selain untuk meraih dukungan dari pengunjung yang terdidik, mengharapkan juga supaya melalui mereka dapat ditarik pengunjung awam yang lebih luas dan ''mengglobal''.

Pasaran yang ditujukan akhirnya adalah juga pasaran di luar khawasan tradisional dimana film-film tersebut di produksikan. Pujian dalam festival semacam ini cukup penting, karena dapat mendongkrak dukungan dari pasaran didunia ramai, yang awam terhadap dunia di mana film itu dihasilkan. Dengan sendirinya kita harus berhutang budi atas itikad dan prasarana budayawan Perancis dalam mengorganisir anjang-anjang semacam ini, yang merupakan salahsatu hasil dari kerja-sama budaya yang diprasaranai kerjasama Asem (Asia European Meeting), untuk memperkenalkan dunia budaya Asia pada masyarakat ramai.

Untuk anjang festival di Nantes, prasarana ini telah di mulai oleh dua bersaudara Alain dan Philippe Jalladeau 22 tahun yang lalu. Festival tahunan telah berkembang sedemikian, dimana putri Philippe, Elise Jalladeau, yang berusia 30 tahun telah menjadi salah satu produser film, yang sempat memberi dana finansial untuk dua film yang masuk dalam kompetisi di sini, yaitu film''Emperan'' dari Cina, yang telah meraih piala emas, dan film ''Telegram''dari Indonesia, yang kali ini (dan untuk pertama kalinya dalam karier perfilman dari Slamet Rahardjo) urung menerima sesuatu komentar dari dewan juri. Dimana letak keteledoran kita ?

Sampai sekarang ini Jepang, Hongkong, India, mempunyai perindustrian perfilman yang tangguh dan bertahan, terlepas dari suksesnya dunia perfilman Amerika dalam merebut pasaran awam dunia. Dalam festival yg ke 22 ini, dua film Jepang, ''Kao'' dan ''Wasurerarenu hitobito'' (''Peringatan''), turut dikompetisikan dan film ''Peringatan'' telah meraih hadiah untuk peranan wanita terbaik, sekalian juga untuk peranan pria (tiga aktor) terbaik. Film ini di sutradarai Makoto Shinozaki, yang lahir di Tokyo tahun 1963. Film yang sangat profesional ini menerima multi finance dari berbagai negara termasuk dari Inggris, dan Canada. Film ini mengetengahkan kehidupan tiga veteran perang dunia II, yang telah menua, dan bagaimana peranan suatu organisasi setempat, suatu cult, telah mensabot secara canggih, dari informasi yang mereka sadap melalui pemasangan ilegal seperangkat peralatan pengawasan (surveilance) elektronik, di rumah berbagai warga senior disitu.Kemudian organisasi semi-kriminil itu menguras kosong simpanan tabungan senior citizens tersebut.

Tergambar jelas logika dan disiplin gaya budaya Jepang, dari para tokoh-tokoh utama yang telah menjelang senja itu menghadapi penipuan yang dilakukan agen-agen organisasi ''Utopia corporation''. Tindak laku organisasi Utopia itu membayangkan suatu sistim yang mengerikan dan mungkin saja mudah diterapkan dalam kehidupan rutin di abad 21ini. Ketiga veteran perang dunia II, dimana Jepang telah kalah berperang, dalam jalur cerita film ini, telah keluar ditonjolkan sebagai pahlawan, yang telah men-cek, gerakan penipuan dari organisasi Utopia. Penyelesaian dari masalah, khusus diselesaikan dengan cara khas budaya Jepang, melalui proses ''sepukku'', disini dengan pemakaian pisau dapur, oleh salah satu tokoh. Kemudiannya, pemakaian pedang oleh tokoh lain yang memenggal kepala dari pemimpin organisasi, walaupun ia akhirnya tewas ditembak senjata moderen dari asisten setia si pemimpin organisasi. Tokoh ke tiga berhasil menggugurkan ajudan presiden Utopia itu. Dia satu-satunya tokoh dari tiga sekawan itu yang selamat. Walaupun skenario penutup cerita film sangat keras dan berdarah-darah, dengan selamatnya satu tokoh dari tiga sekawan tersebut, memberikan unsur ''harapan'', bahwa betapapun ''sepelenya'' sesuatu usaha atau tindakan dari seorang individu di masyarakat, untuk memperbaiki sesuatu yang melenceng, usaha tersebut sedikitnya telah menyendat perkembangan kriminil dari organisasi yang membahayakan kehidupan harmonis di masyarakat itu. Usaha yang mungkin ''sepele'' tapi masuk akal.

Slamet Rahardjo sendiri telah menjelaskan dalam pembicaraan khusus bahwa pilihan naskah ''Telegram'', yang berdasarkan karya penulis drama, essaist, wartawan kondang, Putu Wijaya, adalah juga merupakan pilihan produser dari Perancis juga. Naskah hasil penulis yang berasal dari Bali ini memang sempat di terjemahkan dengan rapih kedalam bahasa Perancis, oleh peneliti budayaChambert-Loir. Jadi para pembaca Perancis yang mempunyai minat dapat membaca karya tersebut, dan kemudiannya dapat mempunyai alat bantuan untuk lebih menikmati kreasi film ini. Dengan pemasaran dan publisitas yang canggih, film dapat dipromosikan sekali jalan dengan mempromosikan karya yang sudah diterjemahkan tadi.

Seronoknya, sebelum film diperagakan, disebar terlebih dahulu, paling sedikit untuk lingkungan budayawan, kritikus dan wartawan, naskah terjemahan''Telegram'', dalam bahasa Inggris maupun Perancis. Dengan cara itu paling sedikit ada jembatan yang dapat di pakai pemirsa asing untuk mencoba mengerti kegalauan pemikiran intelektual Putu Wijaya yang telah dituangkan dalam bentuk visual oleh Slamet Rahardjo. Hanya saja kita harus memperhitungkan, bahwa sesungguhnya karya tulisan ''Telegram'' yang sempat juga meraih hadiah sastra, dan diterima oleh para budayawan Indonesia sebagai karya yang berbobot, telah juga pada saat yang sama, sempat mengundang perdebatan kontroversial dengan ulasan cukup keras, dan pedas dari para kritik sastra di Indonesia, di tahun 70an. Pengunjung setia di TIM tentunya masih mengingat betapa cukup banyak kritikus yang menuduh penulis Bali, I Gusti Ngurah Putu, yang lahir di Tabanan tahun 1944 hanya sibuk dengan pemikirannya sendiri dan seolah tidak menggubris persoalan aktual masyarakat di sekitarnya.

Alur cerita menyangkut tema abstrak ''kebebasan bercinta'' tema yang sangat pop di jaman itu, dengan jadwal waktu lakon dari alur cerita yang di-acak. Kedatangan Telegram dari Bali yang membawakan berita ibu yang sakit kemudiannya ibu yg meninggal dirangkum dengan kegalauan tokoh yang harus mengambil tanggung jawab sebagai seorang pria yang sedang dimabuk cinta dengan seorang wanita bahenol Rosa. Tersangkut disana hubungan si tokoh Daku yang iseng dengan wanita pelacur Norma. Dalam kurun yang sama, sebagai putra tertua, Daku, yang wartawan, harus juga menyandang tugas finansial untuk upacara ngaben, maupun untuk menanggung hari depan putri angkatnya Sinta, yang mulai menjelang dewasa, dan calon istrinya Rosa, yang mulai menua. Tokoh Rosa mengundurkan diri secara suka-rela, (maklum si pengarang adalah pria) dari lakon kehidupan bercinta dengan si Daku begitu Sinta mencapai usia remaja. Peran Daku telah dimainkan dengan baik oleh pemusik kita Sutejo Jiwo.

Seperti kita ketahui, ketika karya Putu Wijaya menarik perhatian masyarakat ramai di Indonesia, dan ketika itu dipakai sebagai naskah diskusi dalam kuliah sastra baik di tingkat universitas maupun di sekolah menengah, situasi di Indonesia sedang dirundung persoalan dari Malari, tapol di Buruyang mulai dipertanyakan dunia internasional, demo di Tanjung Priok, dan pemacuan kehidupan ekonomi yang tidak diimbangi dengan kemajuan kebebasan menganalisa situasi politik ekonomi masa itu, apalagi terhambatnya kebebasan untuk berdebat. Pada jaman itu sendiri, tema naskah sudah dituduh merupakan naskah ''pelarian'' dari kenyataan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan urban di Indonesia. Tapi mana pengamat asing bisa tahu, bila kekerasan kehidupan tidak tercecahkan di dalam naskah, yang dengan sendirinya urung hadir di dalam film.

Wajarlah bila naskah tersebut, bagaimanapun canggihnya pengolahan dalam media visual, dengan pemakaian teknologi mutakhir maupun melalui rekayasa kepekaan sutradara dan kemudiannya kemampuan si penyunting film menyerap alur cerita, telah dituduh membawakan tema yang ''musiman'', yang sudah''basi'', tanpa menggubris atau menyentuh persoalan hakiki dari masyarakat ramai, tempat si tokoh-tokoh cerita bermain. Jadi melalui proses natural,dengan bergesernya waktu, tema ''Telegram'' tersebut menjadi lebih dari basi. Runyam pulalah, bila persoalan-persoalan humanis, mengenai tanggung jawab seorang pria terhadap tokoh-tokoh wanita di sekitarnya, dianggap''cengeng'' dan malahan tidak membawakan suatu penyelesaian yang enak. Tapi memang enak untuk si pengarang dan si Daku, karena si pacar yang menua mengundurkan diri, secara suka rela. Di dalam film terlihat Rosa mengetuk-ketuk kaca jendela dari luar, tanpa terdengar ataupun terlihat oleh si Daku. Saat itu, anak angkat Sinta yang molek, yang sudah dewasa, digotong oleh si Daku ke atas ranjang.

Terserahlah pada pemirsa mau diapakan kelanjutan dari skenario tersebut. Yang penting, walaupun ibu si Daku wafat atau sakit, Rosa ataupun Norma, mati atau emoh bergaul dengan Daku, kesejahteraan Daku sehari-hari tetap dapat diurus dengan baik oleh Sinta. Tanggapan semacam ini, bisa saja kalausi pemirsa peduli untuk mengorek-korek pikirannya dengan menyambung-sambung alur cerita yang sudah dengan sengaja diacak-acak si pengarang naskah, dan cukup membingungkan si penyunting film. Pemirsa awam, yang tidak mengenal naskah apalagi yang buta huruf mengenai makna ekonomi dari salah satu unsur budaya Bali, ''ngaben'', itu bisa-bisa merasa terkecoh atau menjadi teler karena tidak dapat melihat dimana letak pernak-pernik dari kebudayaan Bali yang terkenal itu. Ketakutan tokoh Daku atas beratnya tanggung jawab, yang harus dia sandang, bila dia pulang kampung, hanya membingungkan pemirsa awam. Di dunia ini, mana ada, putra yang menjadi jantung hati bundanya akan ngeri pulang kampung, apalagi bila bunda tercintanya sedang dalam keadaan rawan. Si Kuncung yang apes pun mungkin akan menjarah rumah tetangga demi untuk mengumpulkan dana perjalanan. Lihat saja Aung San Suu Kyi, yang mudik ke Burma dari Inggris, demi mengurusi bundanya, yang pada waktu itu sedang gersang, padahal sistim di negaranya mengekang segala gerak geriknya. Akhir lakon suami Suu Kyi sendiri akhirnya wafat tanpa menerima kesempatan untuk dijenguk istrinya.

Dalam pada itu, reaksi teler dari para pemirsa film ''Telegram'' di Nantes, adalah juga reaksi setali tiga wang dari kebanyakan pembaca naskah tulisan''Telegram'' di dalam negeri di era tahun 70an, kecuali tentunya para pembaca setia majalah sastra ''Horison''. Pembaca naskah yang non''Horison'' masa itu sudah kurang bersimpati atas dilema yang dihadapi tokoh Daku, apalagi masyarakat global yang buta hurup di tahun 2000 ! Kecanggihan sastrawan Putu Wijaya dan kecanggihan daya seni sutradara kondang Slamet Rahardjo, dan metode ahli penyuntingan Catherine d'Hoir, dan kebolehan cara pemakaian bahasa dari Chambert Loir semua terpaksa ditahan dalam lingkungan terbatas yang elitis . Dalam konteks kehidupan kegenitan intelektual yang sangat fashionable untuk masyarakat seni di Utan Kayu, ataupun TIM, dan mungkin di langgar santri di Jombang dan di warung kopi di Paris, hal ini tidak merupakan masalah, asal saja dana dapat terus mengalir, untuk membiayai selera pilihan pakar-pakar budayawan elite bangsa kita. Khususnya juga, asal kita-kita penduduk awam pencinta seni tidak ditodong untuk meraup kocek sendiri, untuk membiayai proyek-proyek semacam ini.

Kenyataan yang sangat pahit dari kehidupan yang mengglobal ini, adalah seretnya dana prodeo dari luar yang mengalir masuk untuk mengganjal gaya hidup ala Indonesia. Dari urusan rekapitalisasi perbankan, urusan pembukaan lowongan kerja, APBN, ongkos teknologi pemasangan perangkat internet dan entah apa lagi, semuanya harus kita rogoh dari kocek sendiri. Sesungguhnya sineas Rahardjo sudah mengaku, dengan meminjam kalimat poetik dari GoenawanMoehammad, bahwa dalam hidup ini, hanya harapan yang membawa kita, dan kita harus sudah siap untuk kecewa. Kalimat tersebut dimasukkan dalam pembukaan film ''Telegram'' tadi. Sebagai pengamat budaya sosial, untuk kebanyakan warga di pasar, seperti yang terpampangkan di film-film artistik yang diperagakan dalam festival di Nantes ini, bukan suatu ''kekecewaan'' yang menjadi masalah dalam kehidupan ini. Dengan sedikit teknik dan kelihaian merangkum gaya hidup, masing-masing dapat saja menyetel taraf dari kekecewaan hidup dan cara dari melipur lara, untuk mengatasi segala kekecewaan. Memang mimpi-mimpi yang diobral murah oleh produk film Hollywood, menjual citra bahwa hidup hanya mempunyai arti, kalau si tokoh menaiki mobil mentereng, apakah itu Cadillac, atau Jaguar.Tapi hanya kesibukan usaha untuk membuat diri berguna di masyarakat ramai, yang mungkin dapat menutupi suatu rasa kecewa. Bukan karena apa-apa, hanya karena si tokoh sibuk bergulat dengan kehidupannya yang nyata, yang menyebabkan dia tidak lagi mempunyai waktu luang untuk berhandai-handai dan menggantang asap.

Dalam dunia negara-negara berkembang, dan Indonesia masih merupakan anggotaintegral dunia itu, apalagi sesudah krismon ini, persoalan yang khususadalah bagaimana untuk meningkatkan sumber daya manusia nya. Bagaimana untukmembuat insan ini berguna untuk masyarakat ramai, saling kasih mengasihi danjangan saling cemburuan, apa lagi pancung memancung, berjihad, membakarhutan dan sawah. Karena situasi dunia yang semakin kejam, penyelesaianalternatip yang lainnya, yang ramah meyakinkan yang sedang didambakan pasar.Mungkin saja pilihan yang ramah tidak dapat lagi ditawarkan. Disinilahmengapa kita menoleh pada visi dan harapan generasi muda dunia. Walaupunmisalnya di Eropa Barat, generasi muda yang masih bersekolah sudah memandangnegatip pada dunia disekitarnya, saat ini pasar masih mengharapkan bahwagenerasi muda di sudut-sudut lainnya di dunia dapat membawakan pandanganyang segar dan bersemangat untuk memperbaiki dunia kita yang bobrok. Jelaskan bila generasi muda di Kupang atau Lisboa, di Ulan Bator atau Khatmandu,langsung mengambil suatu visi yang negatip, runyam pula awak dibuatnya.

Sebagai catatan penutup, bukanlah suatu kebetulan, bahwa film-film yangmenerima hadiah, adalah juga buatan para sutradara kelahiran tahun 60an dan70an. Dari manapun mereka berasal, usia mereka yang memungkinkan merekadapat melihat dunia di sekitar dengan humour dan gamblang. Mungkin sudahwaktunya kita semua untuk lebih menaruh fokus untuk mengembangkan danmeningkatkan kebolehan kontribusi generasi muda Indonesia di anjang internasional. ''Uttara'' film India yang sempat menerima hadiah Fip-Pil, yaitudipilih oleh sembarang pengunjung umum, di sutradarai oleh sineas BuddhadebDasGupta, yang lahir di tahun 1946. Tema menggambarkan pemerkosaan tokohwanita, sekalian pembunuhan dan pembakaran pendeta di suatu gereja di tempatterpencil oleh penduduk prokem setempat. Terserah pada pembaca untuk menilaiapa maksud tersembunyi dari para juri yang telah mengatakan bahwa parapengunjung awam di Nantes (pilihan pengunjung awam dari pasar) yang telahmenghadiahi film ''Uttara'' ini. FIN.

Savitri Scherer

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search