Friday, March 21, 2003

Profil Imron Supriyadi dan Cerpennya

Imron Supriyadi lahir di Borobudur, Magelang,  18 Mei 1973.  Alumni Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang ini aktif menulis dan berkesenian sejak pertengahan 1993. Ia pernah aktif di Teater Aladin, Teater Kreta, dan ASBP SUBUH Palembang. Kolom, artikel dan cerpennya dimuat di beberapa media cetak di Palembang (Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, tabloid Semesta, tabloid Media Sumatera, tabloid Alternatif, majalah Sindang Merdeka, dan media cetak lainnya). Ia pernah menjadi wartawan Sumatera Ekpsres dan tabloid Media Sumatera. Sekarang bekerja sebagai reporter radio Smart FM Palembang. Ia tinggal di Jalan Demang Lebar Daun No.1 Blok P Palembang, Sumatera Selatan. Email: imron_73plg@yahoo.com

Berikut ini cerita pendek "Orang-Orang yang Mengusir Tuhan" dan "Sedang Tuhan Pun Bisa Mati" yang dikirim Imron kepada saya pada Desember 2000. Hak cipta pada pengarang.




Date:  Wed, 13 Dec 2000 05:31:45 -0800 (PST)
From:  imron supriyadi
Subject:  Orang-Orang yang Mengusir Tuhan
To:  z_iwan




Orang-Orang yang Mengusir Tuhan

Aku masih menyusuri Jalan Jenderal Sudirman di Palembang. Entah, sudah berapa perempatan jalan kutemui. Sejak keberangkatanku dari Kilometer 12, sampai simpang Rumah Sakit Charitas, aku tak sempat lagi menghitung berapa banyak perempatan atau tikungan jalan. Yang pasti, pada setiap perempatan  dan tikungan, selalu saja kutemui beragam bentuk kemiskinan. Ada puluhan atau ratusan kelaparan di sana.

Aku turun, tepat di depan pusat pembelajaan International Plaza Palembang. Kunaiki jembatan penyeberangan. Oh, ternyata masih banyak lagi kutemui kelaparan lagi. Kemiskinan masih menempel di setiap dinding kota. Di setiap jembatan  penyeberangan. Bukan di perempatan dan tikungan ternyata. Di  jembatan penyeberangan banyak lagi kepedihan, keterbelakangan, dan ketertindasan. Sekeping uang logam rupiah kukeluarkan dari kantong. Sebuah tangan kurus dari wajah lusuh itu menerima  dengan  penuh harap. Dari mulutnya,  kudengar kemudian tiga kali ucapan hamdalah, diiringi doa buat kesejahteraan bagi setiap pemberi.

Aku terus berjalan. Membeli beberapa keperluan yang mesti kumakan hari ini, nanti malam dan esko hari bersama Pustrini, isteriku. Pada setiap langkah, aku dan isteriku masih merasakan, betapa beruntungnya aku ketimbang mereka yang ada di jembatan penyebarangan.  Aku dan isteriku masih merasa beruntung dengan kehidupan kami jalani, sekalipun, kami juga hidup dalam keterbatasan. Betapa tidak?  Baru beberapa menit yang lalu, kujumpai  potret umat yang  hidup dalam ketertindasan. Mereka hidup dalam lingkaran kemiskinan dan kepedihan, yang belum jelas semua itu akan usai. Mungkin aku tidak akan sanggup, jika Tuhan memberiku nasib seperti mereka. Tetapi, kenapa kenikmatan yang sudah kuterima sering kubalas dengan ragam pengingkaran?

Ketika siang menjelang, mulutku berkata  tentang kebesaran Tuhan. Ketika sore tiba, aku tidak jarang meninggalkan Tuhan. Aku sering berkata-kata tentang  Tuhan. Tetapi kakiku masih berpijak di alam kebesaran Setan. Badanku  tertunduk pada kekuasaan Tuhan. Tetapi batinku masih sering meng-agungkan setan. Mestikah aku harus tetap duduk dan bersujud di atas sajadah, sementara sajadah itu pula sudah menjadi tempatku mebuang tinja?

Pada sebuah warung, aku singgah sebentar. Untuk membasahi kerongonganku yang mulai mengering. Tiba-tiba, datang seorang pengemis buta dengan dituntun oleh anak laki-lakinya. Telapak tangan pengemis itu terbuka lebar, mengharap logaman rupiah. Aku tidak langsung memberinya. Sebab, posisiku jauh dari tempat pengemis itu muncul. Aku pikir, pengemis itu akan berpindah pintu, setelah menerima logaman rupiah dari orang yang paling dekat dengan  pintu, tempat munculnya pengemis itu.

"Aaah, sudah sana!  Dasar pengemis buta. Tidak ada uang buat kalian. Kalau mau  makan ya kerja! Sana..sana  pergi!" Seseorang yang aku kira akan memberi uang, justeru sebaliknya. Orang itu mengusir pengemis dengan menimpali dengan kalimat yang tidak bersahabat. Beberapa menit pengemis itu aku tunggu. Kalau-kalau saja, ia muncul dari arah pintu yang dekat dengan  tempt aku duduk.  Ternyata tidak. Kedua pengemis itu  lenyap bersama kekecwaannya, karena tidak memperoleh uang.

Pukul empat sore. Aku berkemas pulang. Dalam bis yang kutumpangi, kembali datang dua orang anak kecil mengalunkan lagu tanpa ritme yang jelas. Hanya dengan puluhan tutup botol yang dirangkai menjadi alat musik, kedua anak itu bernyanyi, untuk mendapat sumbangan uang dari para penumpang.  Aneh, potret kepedihan itu sempat menjadi bahan tertawaan bagi beberapa penumpang. Mereka tertawa, sudah tentu karena kedua anak itu bermain musik tanpa nada dasar. Sehingga yang muncul bukan alunan lagu yang enak dinikmati, namun sebaliknya, suara tanpa irama yang kemudian terdengar. Mereka pun tertawa, sembari menahannya dengan telapak tangan mereka. Hampir saja aku ikut tertawa. Tetapi, aku segera mengurngkan niat itu.  Sebab, aku kemudian ingat dengan pesan kiai Dalhari, guru ngaji yang dulu selalu wanti-wanti, agar aku  jangan sampai mudah-mudah mentertawakan orang yang sebenarnya tidak mesti ditertawakan.

"Kalau Kau tidak mampu memberi sesuatu terhadap orang lain yang sedang memintamu, jangan kemudian kau mentertawakanb dan mengejeknya. Justeru kalau diam, itu akan lebih baik dari pada kau mencibirkan mereka."

 Belum sempat aku mengeluarkan logaman rupiah, seorang perempuan yang duduk di sampingku menyela pembicaraan, seolah ia melarangku untuk memberi logaman rupiah pada kedua anak itu.

" Dik, nggak usah dikasih. Nanti malah tambah malas mereka. Lagi pula itu kan sudah nasib mereka harus begitu."

"Bu, ma'af, kata kiai saya dulu. Berilah sedikit, karena tidak memberi itu lebih sedikit nilainya."

Aku tidak lagi memperhatikan wajah  perempuan di sampingku. Sebab, aku harus  segera turun di sebuah halte.  **

Aku baru saja memasuki pintu gerbang sebuah komplek. Rumahku ada di belakang kompleks ini. Sehingga,   untuk sampai ke rumahku, aku harus lebih dulu melewati beberapa tikungan dan belokan dari gedung-gedung  yang mewah. Belum lagi sampai  di rumah.Kujumpai lagi  dua bocah berkerudung. Salah satu diantaranya mengapit sebuah map. Seperti orang yang meminta sumbangan dari rumah ke rumah.

Tepat dugaanku. Keduanya adalah wakil dari sebuah Yayasan Sosial di Palembang. Mereka datang dari pintu ke pintu untuk mendapat sumbangan.  Pada  setiap rumah, kedua bocah berkerudung itu menyodorkan formulir dan surat tugas ke setiap pemilik ruham yang berhasil mereka jumpai.

"Waduh, dik, bapak sedang tidak ada di rumah. Jadi lain kali saja, ya dik,"  Seseorang penghuni rumah di kompleks itu yang berhasil mereka temui mengelak untuk memberi sumbangan.

"Aduh, gimana ya, saya cuma pembantu. Saya mesti nunggu nyonya dan tuan pulang. Saya tidak  punya uang."

"Bi, bilang sama mereka, kita tidak  bisa memberi sumbangan. Kita lagi tak ada uang!"

Harapan kedua bocah itu makin pudar untuk mendapat tambahan biaya bagi Yayasannya. Sebab dari rumah ke  rumah, yang mereka temui hanya ucapan ma'af. Sementara, ucapan ma'af, sudah pasti bukan yang mereka harapkan. Lagi pula ucapan ma'af tidak akan bisa dibelanjakan untuk kesejahteraan anak-anak terlantar di Yayasan.

Kejadian serupa, sebenarnya bukan saja baru kujumpai hari ini. Sebab jauh sebelum aku menikah dengan  Pustrini, isteriku sekarang, peristiwa serupa hampur sering kutemui. Bahkan, tiga haru sebelum ini, sudah tak terhitung lagi periatiwa yang sama kusaksikan dengan mata dan kepalaku sendiri. Mungkin, esko atau lusa, aku akan kembali menjumpai lagi orang-orang yang membuang kesempatan berbuat baik. Aneh, kenapa mereka sanggup mengusir peluang berbuat baik? Mungkinkah mereka sudah merasa banyak kebaikan di mata Tuhan? Atau karena mereka juga tidak mengetahui kalau Tuhan selelu menjelma pada setiap kemiskinan, ketertindasan, kelaparan, keterbelakangan dan berada pada setiap kaum lemah?

Sampai di rumah, Pustrini, isteriku menyambut kedatanganku. Tidak seperti biasa. Hari ini, Pustrini nampak heran dengan guratan wajahku sore itu.

"Mas, kenapa, mas murung? Biasanya nggak begitu? Lelah sekali, ya Mas?" Tanya isteriku sembari menyedu segelas the dingin di meja.

Aku tak langsung menjawab.  "Ya, lelah. Capek dan banyak cerita."

"Cerita? Cerita apa?"

"Yah, cerita tentang hidup."

"Aah, sudah lah Mas, jangan berpikir yang berat-berat dulu. Nanti kalau sudah hilang lelahnya, baru Mas cerita."

"Aku ini  manusia biasa, Tri. Ada saatnya salah, ada saatnya lupa. Makanya aku ingin cerita sekarang."

Pustrini hanya diam. Seolah menunggu mulutku terbuka kembali untuk menceritakan yang kujumpai di jalan tadi siang.

"Tri, aku di pasar tadi ketemu banyak orang."

"Ya wajar to, Mas, namanya juga di pasar," jawab Pustrini enteng.

"Ini bukan orang sembarang orang, Tri."

Kening Pustrini  mengerut. Ada tanda tanya di sana. "Orang aneh yang Mas maksud itu orang yang bagaimana, sih? Apa mereka tidak punya hidung? Atau."

"Bukan, bukan itu, Tri. Tetapi orang-orang aneh itu orang-orang yang suka mengusir Tuhan."

"Kok, mengusir Tuhan? Apa bukan sampean yang aneh itu, to Mas? Tuhan kok diusir?"

"Ya enggak lah! Orang-orang yang kujumpai tadi siang itu memang orang-orang yang mengusir Tuhan!"

"Tuhan nggak bisa dilihat, kok malah diusir! Aneh! Sudah lah nggak usah sok jadi filsuf! Pusing aku, Mas"

Aku tersenyum kecil. Ternyata Pustrini juga kenal dengan istilah filsuf. Gadis desa seperti Pustrini, kenal dari mana istilah filsuf?

"Sudah, kalau mau cerita ya cerita! Aku ini mau masuk, Mas!"

"Nah, akhirnya kau juga ingin tahu juga, kan?" kataku meledek Pustrini yang makin penasaran.

"Begini, lho, Tri. Kata Kiai kita dulu, Tuhan itu menjelma ke setiap bentuk ketertindasan, keterbelakangan, kemiskinan dan berpihak pada kaum lemah. Bahkan, kata Kiai kita juga, orang miskin yang datang ke rumah kita lalu meminta sumbangan, itu bentuk kepedulian Tuhan kepada kita, bahwa kita masih diberi peluang berbuat baik oleh Tuhan, Ya kan?'

"Iya, Lalu?"

"Nah, di pasar tadi, banyak kesempatan berbuat baik dibuang. Orang-orang  mengusir pengemis, pengamen. Dan di sebelah rumah kita ini, di kompleks depan sana, dua orang bocah yang meminta sumbangan untuk yayasan sosial juga diusir secara halus."

"Lalu,  apa hubunganya dengan mengusir Tuhan tadi, Mas?"

"Ya, jelas, kalau mereka membenci keteryindasan, kemiskinan, dan kehausan dan kelaparan, itu kan sama saja mereka telah mengusir Tuhan. Lalu mereka juga membuang kesempatan berbuat Baik yang diberikan oleh Tuhan ke rumah mereka, kan sama saja mengusir Tuhan juga, betul, nggak?"

"Assalamu'alaikum?" Pembicaraanku terhenti ketika dari arah pintu depan terdengar ucapan salam. Tanpa isyarat, Pustrini langsung menyongsong tamu itu.

"Mas! Mas Im!" Pustrini memanggilku.

Di depan pintu, dua sosok bocah yang kujumpai di lorong kompleks itu ada di hadapanku. Mereka datang untuk meminta sumbangan kepadaku. Tuhan hadir ke rumahku. Terima kasih Tuhan. Sekalipun seribu lagi Kau hadirkan orang miskin ke rumah kami, atau Kau perlihatkan kepada kami ratusan bentuk ketertindasan dan kelaparan, pasti kebaikanMu tidak mungkin bisa terbalas hanya dengan membantu mereka dari kemelaratan dan kelaparan. Tetapi, sekali lagi, terima kasih Tuhan,  Engkau masih memberi peluang bagi kami untuk berbuat baik!**

Palembang, Agustus-Desember 2000



Sedang Tuhan Pun Bisa Mati

Siapa bilang Tuhan tak bisa mati! Tuhan bisa saja mati.! Tuhan sering dibunuh oleh semua. Bukan saja aku, tetapi, kau dan  kita! Ya semua telah melakukan pembunuhan Tuhan. Bukan seorang Kiai. Bukan seorang Bikku dan Pasteur. Bukan pula seorang Suster, sampai seorang birokrat dan para kaum gembel, semua juga melakukan pembunuhan Tuhan. Maka Tuhan pun bisa mati.  Kalau dulu Nietzsche mempermaklumkan kematian Tuhan. Kini, aku mengatakan, Tuhan pun bisa mati. Tuhan sering terbunuh oleh kita. Bahkan kita sengaja membunuhNya.

Kemarin, Warman teman kerjaku menceritakan bagaimana Tuhan telah tergadai oleh sepiring  nasi. Lalu ditempat lain, Tuhan diperjual-belikan sebanding dengan harga kangkung. Tuhan sudah bisa ditawar. Tuhan dihargai murah. Tuhan  diperdaya, dengan dalih mempertahankan hidup.

Belum lagi puluhan pedagang  lainnya, turut melakukan hal yang sama. Mereka membuang, dan menginjak Tuhan di hadapan para pembeli dengan terang-terangan.

Pada sebuah kedai malam, tempat berkerumunnya para perempuan dan laki-laki. Kembali, Tuhan diperdaya. Tuhan dibutakan sama sekali. Dan proses pembunuhan Tuhan pun kembali terjadi. Tuhan benar-benar ditiadakan, sekalipun ketiadaan itu adaalah Tuhan. Tawa dan canda, membawa mereka semakin mengubur Tuhan. Larangan bukan lagi yang mesti ditakuti. Semua mereka jalani, tanpa lagi melihat Tuhan. Dan di dalam kamar remang, Tuhan pun terselip di balik kasur. Terlibas oleh dengus napas yang memburu hingga pagi tiba.

Dalam gedung pemerintah, tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku mewakili rakyat. Ada seribu lagi cara orang-orang membunuh Tuhan. Ketika sebuah pabrik dilaporkan melakukan pencemaran. Maka, ratusan orang pun berduyun-duyun membawa nama Tuhan ke gedung itu. Katanya, demi lestarinya bumi Tuhan. Maka berteriaklah orang-orang tadi. Begitu juga orang-orang yang suka berkerumun di gedung pemerintah itu. Mereka bicara lantang. Seakan Tuhan berada di samping kanan kiri mereka. Lalu mengatasnamakan pelestarian lingkungan, demi terjaganya sungai titipan Tuhan, mereka memperdebatkan, sampai tak ada ujung pangkalnya.

Esoknya, surat kabar bicara, limbah pabrik dianggap selesai.  Bumi Tuhan kembali dinyatakan bersih dari pencemaran. Mulut-mulut pun terbeli oleh segepok rupiah. Maka suara Tuhan pun tergadai lagi. Kerusakan dianggap perbaikan. Perbaikan diangap mengganggu stabilitas pabrik. Mereka lalu membuat Tuhan menjadi Tuli. Orang-orang telah membutakan Tuhan dari ketidak-butaan. Maka, mereka juga telah membuat Tuhan menjadi mati. Tuhan telah Mati dalam kedirian mereka. Mati dalam detak jantungnya, sehingga Tuhan bisa seenaknya dipanggil dan diusir kapan saja. Tuhan tak ubahnya seperti seorang pembantu. Ia dipanggil ketika dibutuhkan. Lalu diusir ketika tidak lagi dibutuhkan. Tuhan hanya sekedar barang pelengkap. Tak ada yang berarti apa-apa. Ternyata Tuhan benar-benar mati. Mereka telah membunuhNya.

Pada sebuah mihrab masjid, atau di gereja dan Vihara. Bukan saja para kiai, pastur, dan bikku , mereka juga sama melakukan pembunuhan Tuhan. Kujumpai orang-orang yang mengaku moralis itu berjibaku dengan kediriannya manusia yang paling dekat dengan Tuhan.

Kiai, dengan ceramah dan petuah-petuahnya, menidurkan kaumnya menjadi kaum yang suka menghitung pahala. Para Kiai sudah mengajari umatnya, mengukur ibadah dengan angka-angka. Ibadah ritual sdah bisa dihitung dengan material. Demikian pula pastur, dan bikku. Melakukan pendekakan diri kepada Tuhan, tanpa mempertanyakan di mana ia tinggal, dan berapa jumlah orang lagi yang masih merasakan lapar dan haus. Bukan kiai, pastur, dan bikku, mereka semua membunuh Tuhan, sambil mereka asyik melakukan onani spiritual. Seolah, sorga telah menjadi milik mereka.

Tetapi, malam kemarin, Malaikat mengabariku. Katanya,  "Pada saatnya nanti, di hadapan Tuhan, banyak manusia yang terbalik.  Ada ulama, kiai, pasteur dan bikku masuk neraka. Tetapi tidak sedikit para preman dan maling masuk sorga."

Ketika para kaum moralis itu bertanya, maka Tuhan pun menjawab, "Kalian adalah manusia-manusia egois. Kalian merasa bahwa hanya kalian saja yang  berhak atas sorga. Bukan! Bukan sama sekali. Sebab, ketaatan, bukan saja memuji dan memujaku sepanjang hari. Hei,  kalian semua, para kiai, bikku dan pastur, ternyata, dalam ketataan, kalian telah mengesampingkan semua keadaan yang namanya lapar, kehausan, keterbelakangan, dan ketertindasan. Kenapa kalian hanya diam dengan keadaan seperti itu? Kenapa kalian tidak perjuangkan juga, sebagaimana kalian berjuang untuk mendapatkan sorga?" Semua begong. Dan tertunduk malu. Sebuah kekuatan asing tiba-tiba menarik mereka dengan kasar. Hanya lengkingan saja yang terdengar. Kemudian suara gemuruh meningkahinya.

Lalu, kematian Tuhan pun terjadi di berbagai kantor pemerintah, swasta dan kantor agama sekalipun. Sekelompok orang berduyun-duyun melamar di lembaga agama. Katanya, mereka berniat untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dengan berbagai cara, mereka lalu masuk ke dalamnya, setelah sebelumnya, mereka juga harus menggadaikan Tuhan dalam diri mereka dengan harga 15 sampai 20 juta rupiah.

Di sebuah kantor agama, tempat orang banyak bertanya tentang Tuhan. Tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku dekat dengan Tuhan. Tetapi, di sana, masih juga ada pembunuhan Tuhan.

Zat Tuhan memang takkan pernah mati. Ia akan tetap hidup. Tetapi akankah Tuhan tetap hidup dalam kedirian kita? Bisakah kita terus  mempertahankan, agar Tuhan tetap bersemayam dalam kerohanian kita? Atau kita juga bagian dari orang-orang yang sering melakukan pembunuhan Tuhan?

Demang L. Daun, Palembang, 3 September 2000

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search