Date: Wed, 29 Jan 2003 04:27:38 -0800 (PST)
From: Henny Purnama Sari
Subject: Puisi2ku
To: z_iwan
Menuju Manusia
Satu: Air mata
Hakikatku meleleh
melukisi lingkar hidup dengan tetes-tetes
Setiap gerak adalah tetes
Tiap-tiap napas selalu tetes
Semua tetes bernama aku
Memeluk tiap kiamat yang tak pernah singgah
Ayo, kumpulkan bahan baku! Niscaya cuma air mata
Ketahuilah, Raja memadatkan air mata hingga mengeras kapur
lalu disebutnya sebagai aku,
maka jadilah aku
yang tak pernah tahu paras letih, terlebih jenuh
Tes.., tes.., tes
Dua: Kata
Hakikatku berkata
Setiapku adalah kata
Tiap-tiap kata selalu aku
Sebab Raja memadatkan kata-kata yang sedia melekatkan diri, menjahitkan nyawa-nyawa mereka hingga menunggal
lalu merupakannya sebagai aku
jadilah aku
Barangkali hanya pisau yang dapat membikinmu dan para ilmuwan percaya
Coba saja iris aku tipis-tipis
selalu akan kau dapati lembar kata
karena aku padatannya
Kau dan para ilmuwan itu bisa juga
memasang bom dan mengaitkannya pada tubuhku
'kan kau saksikan, setelah letup sang gigan, kata menyerpih
membuyar serupa konveti
Satu waktu dengan bom waktu
Tik...tok...tik...tok
Tiga: Tawa
Hakikatku, tertawa
Setiapku cuma tawa
Tawa-tawa bersepakat menjalin diri erat-erat
di bawah komando Sang Raja
Dan orang-orang membaui tawa sebagai aku
Pecahkan aku dengan gelombang frekuensi tinggi
Hingga remahku pun tawa pada setiap mata
Hahaha.
Air mata, kata, tawa adalah kita
Manusia?
Henny Purnama S., Jakarta - Depok, 15 Des 2002- 3 Januari 2003
Jadi, Apalagi?
Apalagi kau pinta, semesta?
Setelah gerbang remaja yang gamang sehabis sengguk itu,
Seusai masa kecambah yang kerontang oleh pecipta kembang yang tak menyahuti hausku,
Sereda masa biru yang merindu,
lantas sosok tercinta yang abstrak,
media-media berisi bahan peledak,
waktu gelisah yang meruah panjang tengadah
menjelma remah pasrah
yang kian entah
Apalagi, semesta?
Mahal sekali napas ini
sedang rasa takut kau tanam pada tiap relung hidup
dan suicide hanya tergenggam para penakluk
yang dengan segenap kesakitan mencerai beban perlahan
dan sanggup menyongsong ketidaktahuan mengerikan
Aku patuh pada kepengecutan
yang entah sejak waktu mana disanjung sebagai iman
Tapi tidak
Aku tak peduli pada patuh
karena yang ada padaku memang cuma takut
Tak ada unsur lain yang mendirikan nyawaku selain sel-sel pengecut
Lantaran itu, tak bisa lain, kubiarkan kau mengacak-acak lambungku
meluluhlantakkan segenapku
meski kugemar mencipta mimpi
tentang akulah engkau;
Pemilik langkah
yang lihai memilih arah
sehingga aku masih di sini, mengabai jenuh
adakah engkau sungai?
Haruskah kutulis kau dengan 'K' besar?
Bukankah kau menanam diri padaku
yang tumbuh di rahimmu
dan kita cuma terbilang Satu
Jadi, apalagi, semesta?
Hancurku tokh tinggal kau kata
mengapa masih mencicil pinta untuk segerak nyawa?
Hanya membikinku letih dan bagimu tawa
Lalu aku bermimpi tentang akulah engkau
agar mampu mencecap dan ranggas dalam tawa
Jadi, apalagi, diriku?
Henny Purnama S., Depok, Sbt, 26.01.03 (12.29 PM)
Ziarah Erotis
terkadang kita menziarahi sejarah sendiri
di lembar-lembar awal peran
ketika kita menggeliat tumbuh
mengecambah di ranum lumpur pesawahan zaman
terkadang ziarah terlalu khusyuk dilakukan
menyuburkan benih-benih candu
pada hasrat itu
dan kita menyalahkan orang-orang
yang tak pernah menyinggahkan kata 'pulang'
ke telinga kita
ah, mengapa pokok-pokok candu mencetak jarak
pada kekinian yang sadar penuh?
mengapa ia pangkas habis ruang antaranya
yang bertetangga dengan nikmat itu?
mengapa kepurbaan begitu lekat dengan rasa memusat?
yang mencabik-cabik pekat dengan mata sembilu berkilat
menorehkan lautan garis gairah
yang jauh lesatkan alur hidup darah
ahhh!
lalu mengapa kita merasa butuh ziarah?
mengapa hawa misterius memberi kita kemampuan dan keinginan berziarah?
Henny Purnama S., Jakarta, 19 Januari 2003 (01.27 AM)
No comments:
Post a Comment