Thursday, August 06, 2009

Bahasa Indonesia: Politik Bahasa untuk Kini dan Esok

Ini sebuah catatan lama dari tahun 1998. Kongres Bahasa sepakat untuk membuat sebuah undang-undang bahasa. Tahun ini konon undang-undang tersebut akan lahir. Apa dampaknya nanti masih belum pasti.

---------------------

(ADIL edisi 05/68/1998)

Bahasa Indonesia: Politik Bahasa untuk Kini dan Esok

Kongres Bahasa VII sudah usai. Setumpuk agenda belum selesai. Masih berkutat pada persoalan lama.

''Marilah kita menggunakan bahasa secara lugas. Tidak perlu membungkus kenyataan pahit dengan istilah-istilah yang mengaburkan kenyataan,'' ucap Presiden Habibie pada pembukaan Kongres VII Bahasa Indonesia di Istana Negara, Senin (26/10).



Dalam kongres yang berlangsung hingga Jumat (30/10), hadir sekitar 800 peserta dari seluruh Indonesia. Sekitar 70 persidangan digelar. Delapan belas di antaranya membahas topik kesusastraan, yang cenderung tersingkir dalam kongres-kongres sebelumnya. Di luar itu para sastrawan punya acara kesukaan mereka: baca puisi dan cerpen.

POLITIK BAHASA

Secara umum para pakar yang hadir menyoroti hubungan yang kuat antara Bahasa Indonesia (BI) dan kekuasaan pemerintah melalui lembaga resminya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sering disebut Pusat Bahasa). Hubungan ini menghasilkan rekayasa bahasa dalam bentuk berbagai pembakuan dan peraturan berbahasa.

Masalah ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1901 tatkala BI dibikin oleh sebuah sekumpulan ahli Belanda pimpinan CA van Ophuysen. Sebuah rekayasa politik bahasa pun dilakukan dan menghasilkan pemilahan bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah.

Para pemikir kolonial saat itu tidak henti-hentinya mencela bahasa Melayu Rendah yang berkembang di kalangan rakyat dan penerbitan swasta peranakan Cina dan Indo Eropa. Untuk melawan perkembangan bahasa Melayu 'pasar' pada tahun 1918 pemerintah membangun Balai Poestaka.

Namun, dalam salah satu edisi Bintang Timur tahun 1906 misalnya, seorang pembaca menulis bahwa ia tidak begitu mengerti artikel-artikel yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi. Ini menunjukkan betapa tidak populernya bahasa versi rekayasa. Sekarang pun hal itu tampak masih terjadi. Beberapa istilah yang diciptakan Pusat Bahasa malah menjadi aneh di kuping masyarakat.

Toh, politik bahasa kolonial terus berjalan. Perdebatan tetap terjadi di kalangan intelektual, seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane. Wartawan Soeara Oemoem RM Soedardjo Tjokrosiswojo dan Mr. Sumanang kemudian berinisiatif menggelar Kongres Bahasa 1938 di Solo yang dihadiri sekitar 500 orang. Selanjutnya Kongres Bahasa menjadi agenda tetap di republik ini.

MENGRITIK ORBA

Dalam kongres kali ini evaluasi kritis dan terbuka terhadap kenyataaan BI di masa kepemimpinan Orde Baru (ORBA) diurai habis-habisan. Prof. Dr. Soenjono dari Lembaga Bahasa Universitas Katolik Atma Jaya langsung menunjuk bahwa upaya pembinaan BI sering dirusak oleh pejabat yang kemampuan bahasanya amburadul.

Maka, terasa wajar ketika pada pleno ke-5, Selasa (27/10), Taufik Abdullah menggagas reformasi politik bahasa dan masa depan yang bakal dihadapai BI. ''Pembenahan bahasa birokrasi bukan saja merupakan reformasi bahasa politik dan kekuasaan, tetapi juga sesungguhnya mengembalikan bahasa sebagai simbol dan realitas yang komunikatif,'' katanya. Hegemoni itu, menurut Taufik, menyebabkan BI pada masa Orba sangat tercemar oleh pemaksaan kata, eufemisme, kata-kata bersayap, dan sakralisasi konsep.

Walhasil, sejarawan itu mengusulkan agar Pusat Bahasa menangani polusi bahasa di lingkar birokrasi dan kekuasaan. Selain itu Taufik menekankan bahwa politik bahasa harus menghadapkan dirinya pada struktur hari ini, kemungkinan hari depan, dan keberlanjutan kebudayaan. Parakitri Tahi Simbolon pun mengharapkan bahwa peran dan fungsi Pusat Bahasa ditingkatkan, kalau perlu dikelola seperti swasta.

KESUSASTRAAN

Pada kongres kali ini rupanya kesusastraan telah mulai mendapat perhatian. Pembahasan di bidang ini cenderung untuk kembali ke akar sejarah dan tradisi. Seperti misalnya dalam pandangan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati dengan makalah Sastra dan Jati Diri Bangsa, Achdiati Ikram dengan Kesusastraan Indonesia Lama sebagai Sumber Pembinaan Jati Diri Bangsa, dan Ajip Rosidi berharap kebijakan bahasa nasional memberi perhatian pada sastra dan budaya daerah.

Kualitas sastra dibahas Faruk HT dengan makalah Mutu Sastra Kita, sedang Sapardi Djoko Damono dengan Pengaruh Asing dalam Sastra Indonesia dan Budi Darma dengan Sastra Indonesia di Forum Internasional menghampirinya dalam konteks global. Masalah pendidikan sastra digulirkan oleh Taufiq Ismail dengan Tentang Cara Menjadi Rabun Sastra dan Lumpuh Menulis. Hal ini didukung Ignas Kleden yang berharap bahwa tujuan pengajaran bahasa di sekolah ke arah kemahiran berbahasa dan bukan pada teori bahasa.

NASIONALISME

Namun ada yang tersisa dari kongres kali ini. Dari waktu pelaksanaannya jelas kongres ini terkait dengan Hari Sumpah Pemuda. Suatu peristiwa ketika para politikus muda kita mengikrarkan Soempah Pemoeda 1928. Mengapa BI dimasukkan dalam ikrar itu? Mengenai ini para pakar masih sibuk memperdebatkannya.

Yang jelas sebuah semangat kebangsaan atau nasionalisme Tampak jelas di situ. Istilah ini sebenarnya muncul menjelang Perang Dunia I di kalangan para pemuda priyayi yang kembali dari negeri Belanda dan orang-orang Cina yang mengikuti perkembangan Dr. Sun Yat-Sen. Bentuk politiknya muncul dengan berdirinya Partai Nasional (1927) dengan konsep-konsep yang dikembangkan Soekarno.

Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 selanjutnya menjadi penting karena bahasa saat itu secara terbuka dinyatakan sebagai unsur identitas suatu bangsa. Bahasa melayu yang awalnya adalah lingua franca (bahasa untuk berkomunikasi-Red) kemudian menjadi BI yang menunjuk pada keberadaan sebuah bangsa bernama Indonesia.

Namun entah mengapa BI kemudian seolah terpisah dari Sumpah Pemuda itu sendiri. Dan Habibie pun berpidato pada puncak peringatan Sumpah Pemuda tahun ini di Pusat Pendidikan Polisi Militer, Cimahi, Jawa Barat, pada Rabu (28/10) lalu. Dia bicara di depan birokrat dan tokoh pemuda, bukan di depan ribuan mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut berbagai agenda politik bangsa ini yang digelar bersamaan di Gedung DPR/MPR. (Kurniawan)



BOKS

Pekerjaan Rumah Buat Tuan Rumah

Kongres telah usai, namun tuan rumahnya, Pusat Bahasa, masih punya banyak pekerjaan rumah. Enam halaman Putusan Kongres BI VII ditambah berbagai masukan dan perubahan dari peserta pada sidang terakhir kongres akan dibawa pulang Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Hasan Alwi.

''BI itu masih dalam tahap formasi,'' kata Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati kepada ADIL seusai penutupan kongres. Karena itulah menurutnya usaha pembakuan dan penguatannya masih perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dan bertahap. Dia membandingkannya dengan bahasa Sansekerta. ''Itu bahasa yang betul-betul rekayasa, tapi kan terbukti begitu komperhensifnya sistematika kaidah-kaidah kebahasaannya sehingga dia menjadi bahasa yang tingkat intelektualnya begitu tinggi,'' katanya.

Namun menurutnya reformasi yang perlu justru dalam sikap menangani permasalahan bahasa, yakni dengan perlunya pemberian keluangan untuk berkembangnya variasi bahasa. ''Jadi kita tak boleh bersikap terlalu liberal, namun di sisi lain ragam bahasa boleh macam-macam tergantung tempat dan waktunya,'' tuturnya.

Selain masalah formasi BI, pe-er lain buat Pusat Bahasa adalah hutang-hutang Kongres BI VI yang belum dilaksanakan. Salah satu hutang itu adalah soal Undang-Undang Kebahasaan. ''UU Kebahasaan sejauh ini masih merupakan persiapan,'' kata Hasan Alwi. ''Karena ada pandangan waktu itu bahwa yang penting bukan soal UU tapi memberikan himbauan agar para pemakai bahasa sadar perbedaaan kedudukan, tugas dan fungsi, serta peran BI, bahasa daerah, dan bahasa asing,'' lanjutnya.

Hasan berargumen bahwa seringkali masalah bahasa ini dikaitkan dengan masalah budaya. ''Logikanya, kalau induknya saja belum punya UU, artinya belum ada UU Tentang Kebudayaan, tidak mungkin UU Kebahasaan mendahului,'' jelasnya. Sejauh ini sedang disusun konsep yang dari isinya tampaknya akan menjadi salah satu bab dari isi Rencana UU Kebudayaan.

Hal yang baru dari kongres kali ini adalah adanya rekomendasi untuk membentuk suatu Badan Pertimbangan Bahasa (BPB). Dalam Putusan Kongres ada dua ketentuan tentang badan ini. Pertama, keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra. Kedua, Tugasnya ialah memberikan nasehat, diminta atau tidak, kepada Pusat Bahasa serta mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Bahasa. (Kurniawan)

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search