Wednesday, August 05, 2009

Tanpa Nasib oleh Imre Kertész

(Kompas, Minggu, 02 Maret 2003)

Penggalan dari novel Fateless (Illinois: Northwestern UP, 1992, hlm183-191) karya Imre Kertész, pemenang Nobel Sastra 2002.

----------------

SETELAH beberapa langkah maju ke depan, tampak bangunan yang sangat kukenal. Di situ kami tinggal. Masih berdiri utuh seluruhnya dalam bentuk yang bagus. Begitu melewati gerbang depan, aroma lama itu tak berubah. Lift ringkih dengan pintu berkisi-kisi dan bekas jejak kaki kekuningan menyambutku. Berjalan sedikit ke atas sempat kubalas sapa seorang penghuni apartemen yang sedang turun. Itu kebiasaan bertetangga yang menghangatkan. Sampai di lantai tempat tinggal kami, aku pencet bel. Cepat sekali pintu itu dibuka tapi hanya sedikit, terganjal oleh kunci rantai. Itu agak mengherankanku. Seingatku dulu tak ada rantai pencegah di pintu. Wajah tak kukenal muncul di celah itu. Seorang perempuan dengan tulang pipi menonjol, kuning, setengah baya, menatapku. Ia tanya aku cari siapa, dan kujawab, "Aku tinggal di sini." "Tidak mungkin," jawabnya, "kamilah yang tinggal di sini." Dia sudah hampir menutup pintu tapi tak bisa, karena kutahan dengan kakiku. Kucoba menjelaskan padanya, "Pasti ada salah pengertian. Terakhir kali dulu saya pergi meninggalkan tempat ini, dan saya yakin kami sungguh-sungguh tinggal di sini." Dia sebaliknya terus mendesak bahwa justru akulah yang keliru. Sebab, sudah sangat jelas mereka memang tinggal di situ. Dengan gerak kepala yang sopan dan simpatik, melembutkan otot muka, ia berusaha menutup pintu. Aku masih berusaha mencegahnya. Lalu, aku coba melongok nomor rumah untuk memastikan bahwa memang bukan aku yang keliru. Tapi, dia berhasil menutup pintu. Pasti kakiku tadi terselip lepas dari celah itu. Ia menutup pintu dengan keras dan menguncinya dua kali.



AKU kembali ke tangga, perhatianku terserap pada pintu rumah yang kukenal betul bentuknya. Kupencet bel. Perempuan gemuk, berdaging, muncul. Ia juga hendak menutup pintu-aku mulai terbiasa dengan perlakuan seperti ini-tapi sepasang kacamata membersit dan wajah kelabu Paman Fleischmann muncul dari temaram. Di sampingnya berdiri laki-laki tua perut buncit, dengan sandal kain, jenggotnya merah lebat, potongan rambut kekanakan dan cerutu padam menggantung di bibirnya. Ini Tuan Steiner tua yang dulu datang persis ketika aku hendak meninggalkan rumah pada malam terakhir sebelum hari aku diangkut dari kantor pabean. Mereka berdiri memelototiku, lalu mengujarkan namaku. Dan, Tuan Steiner tua itu memelukku, sementara aku masih mengenakan topi, baju narapidana bergaris-garis, dan tubuhku berkeringat. Mereka menarikku masuk ruang tamu, dan Bibi Fleischmann buru-buru ke dapur menyiapkan "segigit makanan", begitu katanya. Aku harus menjawab pertanyaan yang itu itu juga: dari mana, bagaimana, kapan. Lalu, aku bertanya dan kudengarkan jawaban mereka, orang lain sekarang memang sudah menempati apartemen kami. "Lalu kami sendiri, bagaimana?"

Karena mereka tampak sulit menjawab, aku tanyakan lagi, "Ayahku?" Tanggapannya, semua diam. Sejurus kemudian sebuah tangan—-aku yakin ini pasti tangan Paman Steiner—- pelan-pelan terangkat dan seperti seekor kelelawar hinggap pelan-pelan di lenganku. Aku hanya ingat mereka mengatakan bahwa "kebenaran kabar sedih itu, sayangnya, tidak dapat diragukan", karena didasarkan "pada kesaksian seorang mantan narapidana." Menurutnya ayah telah meninggal "setelah sejurus waktu derita yang sebentar saja" di sebuah kam Jerman, meski terletak di wilayah Austria. Apa nama kam itu? Manthaussen? Bukan, Mauthaussen. Mereka tampak senang bisa mengingat nama itu, tapi kemudian berubah serius lagi. Ya, begitu.

Lalu, kutanyakan tentang ibuku. Apa mereka tahu kabarnya? Mereka serentak menjawab ya, memang mereka punya suatu kabar baik. Dia hidup, dia sehat, beberapa bulan yang lalu dia datang ke sini, dan bahwa mereka telah berbicara dengannya. "Lalu ibu tiriku?" kutanya dan jawabnya, "Dia sudah kawin lagi." Dengan siapa? Salah satu menjawab, "Kovacs, kukira." Yang lain, "Bukan, bukan Kovacs. Tapi Futo. Maksudku Suto." Lalu, mereka mengangguk-angguk senang. Ya, tentu, begitulah yang terjadi: Suto tak berubah seperti yang sudah-sudah. Ibumu harus banyak berterima kasih padanya, "sebenarnya dalam segala hal", itu kata mereka padaku. Suto adalah orang yang "menyelamatkan keberuntungan keluarga." Ia menyembunyikan ibumu "selama masa yang paling sulit". Begitu rupanya mereka memahami masalah. "Tapi, barangkali," Paman Fleischmann merenung, "ia agak terlalu cepat." Dan, Tuan Steiner tua setuju. "Tapi, kalau kita timbang-timbang seluruhnya," Tuan Steiner menambahkan, "semuanya dapat dipahami," dan Tuan Steiner tua setuju lagi.

Aku masih di situ beberapa saat lagi. Rasanya lama aku duduk di sofa agak tinggi, empuk, warna merah anggur itu. Sementara itu, Bibi Fleischmann muncul lagi dan membawakanku sepotong roti dengan lemak, paprika, dan beberapa irisan tipis bawang merah di atas piring tembikar berhias pinggirnya. Ia katakan, ia ingat makanan ini adalah kesukaanku, dan cepat kutanggapi bahwa aku tetap suka. Ketika aku makan, di antaranya kedua orang tua itu berkata padaku, "Kehidupan di rumah juga tak mudah." Berbagai peristiwa mereka ceriterakan. Tapi, kalau diingat lagi semuanya, aku hanya menangkap lukisan kabur tentang kejadian-kejadian yang membingungkan, mengusik hati. Pada hakikatnya,semua itu tak dapat kulukiskan atau kupahami. Justru sebaliknya, kalau kuperhatikan baik-baik, mereka ternyata mengulang-ulang ungkapan singkat yang hampir-hampir sudah usang dari mulut mereka, setiap kali ada perubahan atau kejadian baru. Misalnya, bintang-bintang kuning itu "akhirnya kejadian", pembebasan "akhirnya terjadi".

Aku perhatikan mereka membuat kesalahan yang terus diulang-ulang. Seolah-olah semua peristiwa itu tak jelas, sulit dibayangkan, hampir-hampir tak dapat direkonstruksikan lagi, atau tak terjadi dalam batas-batas waktu, menit, jam, hari, minggu, dan bulan, tapi, begitulah mereka berujar dan berujar, semuanya seakan-akan terjadi seketika. Barangkali, seperti dalam sekali putaran kejadian kekacauan yang membingungkan, seolah-olah kejadian itu berlangsung begitu saja di suatu pertemuan di sore hari yang aneh dan tiba-tiba secara tak terduga kemudian berubah jadi pahit karena para pesertanya—hanya Tuhan yang tahu, bagaimana persisnya—tiba-tiba kehilangan kepalanya dan akhirnya bahkan mereka tak tahu apa yang mereka lakukan. Pada saat tertentu, kedua orang tua itu terdiam, dan setelah beberapa saat, Tuan Fleischmann tua tiba-tiba bertanya padaku, "Apa rencanamu ke depan?" Aku agak terkejut dan kukatakan padanya aku belum banyak berpikir tentang itu. Kemudian orang tua yang lain memutar posisi duduknya di sofa dan mengarahkan perhatian padaku. Kelelawar itu bangkit lagi dan tampak ringan, kali ini tak hanya di lenganku tapi juga di lututku. "Yang paling penting," katanya, "kamu harus melupakan semua teror itu." Aku bertanya, bahkan agak lebih terheran lagi, "Kenapa begitu?" "Supaya kamu bisa hidup." Dan, Paman Fleischmann mengangguk setuju. Lalu ujarnya, "Dengan beban seberat itu orang tak akan dapat mulai kehidupan baru." Memang harus kubilang, ada benarnya kata-katanya itu.

Aku hanya tak mengerti bagaimana mereka bisa berharap pada sesuatu yang tak mungkin. Kukatakan bahwa apa yang terjadi sungguh-sungguh telah terjadi. Dan, meskipun semua telah berlalu, sulit buatku untuk membuat agar ingatanku tunduk pada perintahku. Aku hanya dapat memulai hidup baru, kataku, seandainya aku dilahirkan lagi atau jika suatu penyakit menyerang atau kecelakaan mencederai otakku. Tentu saja aku tak berharap. Di samping itu, kutambahkan, tak dapat kuingat telah kulihat ada hal-hal yang menakutkan. Tapi, kuperhatikan, mereka jadi agak terheran-heran. Entah bagaimana mereka memahami ungkapanku "tak dapat kuingat telah kulihat". Ganti kutanya mereka, apa yang mereka lakukan selama "masa-masa sulit" itu. "Ya begitulah, kami tetap hidup," salah seorang tua itu merenung. "Kami berusaha sekuat tenaga bagaimana caranya bisa selamat." Yang lain menyambung. Itu berarti, kataku, bahwa Paman juga menjejak selangkah demi selangkah. Apa itu artinya, mereka balik bertanya. Kemudian kuceriterakan pada mereka bagaimana kam konsentrasi berfungsi, misalnya, yang di Auschwitz. Paman harus membayangkan ada sekitar tiga ribu orang dalam satu kereta api. Mungkin tak selalu begitu dan barangkali tak sepersis itu, karena aku tak tahu secara pasti. Tapi, setidaknya itulah yang menimpaku. Ambil saja misalnya kaum laki-lakinya. Jumlahnya sekitar seribu. Mari kita bayangkan satu atau dua detik dokter membutuhkan waktu untuk memeriksa. Padahal, setiap orang biasanya lebih dari dua detik. Baiklah, tak usah dihitung urutan pertama dan yang terakhir, sebab biasanya mereka memang tak dihitung. Tapi, yang di tengah-tengah, di mana aku berdiri dalam antrean, kami dipaksa menunggu sepuluh sampai dua puluh menit. Lalu, ketika kami sampai pada titik penentuan keputusan, masih tak jelas apakah kami akan langsung dimasukkan kamar gas sekarang juga, atau kami masih dapat waktu penangguhan hukuman mati barang sebentar? Padahal, selama waktu itu antrean terus bergerak, terus maju. Setiap orang melangkah maju, langkah lebar atau langkah pendek semuanya tergantung dari kecepatan operasi itu.

Suasana hening, hanya disela oleh suara Bibi Fleischmann mengangkat piring kosong dari depanku lalu membawanya pergi. Tak kulihat dia balik. Kedua orang tua itu bertanya, "Apakah semua ini memang baik, dan apa maksudmu mengatakan ini semua?" Aku menjawab, "Tak ada yang istimewa. Tapi mengatakan bahwa semua itu begitu saja terjadi tidaklah seluruhnya tepat," sebab kami menjalaninya selangkah demi selangkah. Hanya sekarang ini semuanya tampak sudah berakhir, tak ada perubahan lagi, final, begitu cepat dan sulit dipercaya, dan begitu kabur, sehingga tampaknya semua terjadi begitu saja. Hanya sekarang, dengan laku surut, kami melihatnya kembali ke belakang. Tentu saja, seandainya kami tahu nasib kami sebelumnya, apa yang dapat kami lakukan hanyalah mengurutkan dan menjalani bagaimana waktu berjalan. Sebuah ciuman perpisahan yang tolol tentu sulit dihindari, misalnya, seperti halnya satu hari tanpa kegiatan di kantor pabean atau di kamar gas itu. Tapi, selama kami memandang ke depan atau ke belakang, kami sama-sama tak bergerak, kataku. Karena nyatanya dua puluh menit pada dasarnya adalah rentang waktu yang cukup panjang. Setiap menit berdetak, berlalu, dan akhirnya berhenti sebelum menit kedua bergerak lanjut.

Lalu, kuminta mereka mempertimbangkan hal ini, "Setiap menit sebenarnya dapat menyebabkan timbulnya urusan baru." Memang, tidaklah selalu begitu, tapi harus diakui bahwa tentu saja bisa terjadi. Maka, kalau dilihat secara keseluruhan, sesuatu entah apa pun itu mungkin saja telah terjadi selama menit-menit berlangsung, sesuatu lain yang akhirnya sungguh-sungguh terjadi di Auschwitz, seperti halnya juga di rumah ini, katakanlah begitu, ketika kita semua sedang mengucapkan kata perpisahan pada ayah.

Pada kata-kataku yang terakhir, Tuan Steiner tua mulai gerah, berdiri dan bergerak memutar. "Lalu, menurutmu, apa yang seharusnya kita lakukan?" tanyanya, setengah kesal hatinya, setengah mengeluh. Kukatakan padanya, "Tak ada, tentu saja, atau ...," kutambahkan, "sesuatu yang sama-sama tak bermakna seperti halnya kita tak pernah melakukan apa pun. Sudah tentu. Tapi, bukan itu yang penting," aku mencoba menjelaskan. "Lalu apa?" mereka tanya balik, karena mereka juga tampak hilang kesabaran, seperti aku sendiri juga semakin merasa kesal. "Yang paling penting terletak pada langkah-langkah itu sendiri. Setiap orang melangkah maju sejauh dia mampu. Aku pun melangkahkan kakiku—tidak hanya selama berada di antrean di Auschwitz tapi juga sebelumnya ketika aku masih di rumah. Aku bergerak maju bersama dengan ayahku, dengan ibuku, dengan Anne-Marie, dan—barangkali ini yang paling sulit—dengan kakak perempuanku yang paling tua. Sekarang, aku bisa bilang kepadanya, apa artinya jadi "orang Yahudi". Sebelumnya itu tak berarti apa-apa sebelum langkah-langkah itu mulai dijejakkan. Sekarang, tak ada darah lain, dan memang tak ada apa-apa sama sekali, kecuali ...," di sini aku macet bicara, tapi kemudian aku ingat kata-kata wartawan itu, "kecuali situasi yang ada dan apa pun yang ada bersamaan dengan semua itu."

Aku juga menghidupi nasib yang menimpaku. Sebetulnya itu bukan nasibku, tapi akulah yang menghayati nasib itu sampai akhir. Aku sungguh-sunguh tak mengerti mengapa sulit sekali membuat kedua orang tua itu mengerti. Kupikir, lebih baik aku pergi dan melakukan sesuatu, sementara sekarang aku tak dapat memuaskan diri dengan mengandaikan bahwa semuanya adalah kesalahan, penyimpangan, sejenis kecelakaan atau bahwa semua itu tak pernah terjadi, entah bagaimanapun caranya. Dapat kulihat, dapat kulihat dengan jelas bahwa mereka tak memahamiku dan malah mereka tidak suka dengan kata-kataku. Bahkan, beberapa kataku membuat hati mereka kesal. Kuperhatikan beberapa kali Paman Steiner sudah hendak menyela bicaraku. Ia ingin melompat bangkit. Dan, juga kuperhatikan orang tua yang lain menahannya, dan kudengar apa yang diucapkannya, "Biar saja. Apakah tak kaulihat bahwa dia hanya ingin berbicara? Biarkan dia berbicara. Biarkan."

Dan, memang aku berbicara, barangkali sia-sia dan sulit dipahami. Aku pun masih ingin menyampaikan sesuatu pada mereka, "Kita tidak akan pernah dapat memulai suatu hidup baru. Kita hanya dapat melanjutkan hidup kita yang lama. Aku menjangkahkan langkah hidupku sendiri. Itu tak akan dapat dilakukan oleh orang lain. Dan, pada akhirnya aku tetap jujur terhadap nasib yang digariskan untukku. Satu-satunya keburukan atau keindahan, barangkali dapat kukatakan, satu-satunya ketidaktepatan, yang dapat dituduhkan kepadaku oleh siapa pun adalah bahwa kita sekarang ini saling berbicara. Tapi, jelas bukan itu yang kukerjakan. Apakah Paman berdua ingin semua kekerasan yang menakutkan itu dan semua langkahku sebelum ini kemudian hilang maknanya sama sekali begitu saja? Mengapa harus ada perubahan sikap ini, mengapa kita harus melawannya? Mengapa tidak bisa Paman sadari bahwa jika ada suatu hal yang disebut nasib, sebagai akibatnya tak akan ada kebebasan? Di sisi lain, jika ...," terus kulanjutkan, aku semakin heran juga pada diriku sendiri, dan semakin merasa kesal, "jika di sisi lain tak ada kebebasan, maka tak akan ada nasib." Tiba-tiba aku jadi memahaminya dengan begitu jelas, sesuatu yang tak pernah kusadari sebelumnya. Aku menyesal mengapa hanya bertemu dengan kedua orang ini dan bukan dengan seseorang yang lebih pintar, katakanlah, lawan bicara yang lebih layak. Tapi, hanya merekalah yang ada di sini, saat ini, dan bagaimana pun mereka adalah orang-orang yang waktu itu berada di sini pula ketika kami semua menyampaikan kata perpisahan dengan ayah.

Mereka pun sudah melangkahkan kaki dalam hidup. Mereka juga menyadarinya. Mereka sudah tahu itu sebelumnya. Mereka juga menyampaikan ucapan perpisahan pada ayah seolah-olah kami sudah harus buru-buru keluar rumah. Lalu, mereka ganti bahan pembicaraan. Sekarang, mereka membicarakan apakah aku harus naik tram atau bus untuk menuju ke Auschwitz. Saat itulah Paman Steiner dan juga Paman Fleischmann melompat bangkit dari tempat duduknya. Paman Fleischmann mencoba mencegah Paman Steiner, tapi sudah tak mungkin lagi. "Apa?" ia berteriak padaku, mukanya merah dan memukulkan kepalan tangannya ke dada. "Apa? Apakah sekarang justru kami yang salah-kami para korban ini?" Aku berupaya menjelaskan, "Ini bukan berarti dosa. Dengan rendah hati kita wajib mengakuinya demi kehormatan kita, begitu mungkin bisa dikatakan." Mereka mencoba mengerti bahwa mereka tak bisa mengambil semuanya dariku. Perkaranya pasti bukan apakah aku ini korban ataukah orang yang kalah, bahwa aku tak dapat dibenarkan dan tidak dapat bersalah, bahwa aku ini bukanlah sebab atau akibat dari suatu tindakan tertentu, apa pun itu wujudnya. Aku hampir-hampir meminta-minta mereka untuk memahami hal ini. Aku tak mampu menelan begitu saja kepahitan tolol ini hanya karena ingin dipandang tidak bersalah. Kulihat mereka tak mau mengerti apa pun. Begitulah, lalu segera kuambil topi dan tasku dan pergi dari situ, sementara masih ada kata-kata yang menggantung dan kalimat-kalimat yang tak selesai.

Turun dari tangga, jalanan menyambutku. Aku harus naik kendaraan umum untuk menuju ke ibu. Tapi, kemudian aku ingat. Tentu saja, aku tak punya uang, lalu kuputuskan untuk jalan kaki. Namun, untuk mendapatkan kekuatan, aku berhenti istirahat sebentar di alun-alun lama di bangku yang sama seperti dulu. Di sana, menghadap ke depan, ke arah aku hendak pergi, jalan tampak melebar, memanjang dan hilang di kejauhan, bukit-bukit kebiruan dimahkotai awan kemerahan, dan langit bersaput jingga. Di sekelilingku, rasanya sesuatu sedang berubah. Lalu lintas lebih sepi, langkah orang lalu lalang tampak lebih tenang, suara mereka lebih rendah, ekspresi wajah mereka lebih lembut. Wajah mereka tampak seolah-olah tertukar satu sama lain. Ini adalah saat-saat yang paling istimewa—aku ingat benar sekarang, dan aku merasakannya di sini—ini saat-saat favoritku selama dalam kam, dan muncul keinginan yang pasti jadi sia-sia, menyakitkan dan memang tajam menusuk ke dalam dada: aku rindu rumah. Mendadak semuanya jadi hidup, semuanya kembali lagi, semuanya menggenangi kesadaranku. Aku kaget dengan perasaan yang aneh ini, bergetar rasaku mengingat kenangan sampai ke perkara-perkara kecil. Ya, benar, dalam arti tertentu, hidup jadi lebih murni, lebih sederhana, berada di situ. Aku jadi ingat semuanya, satu demi satu, ahwal dan orang, bahkan mereka yang tak menarik perhatianku, tetapi terutama mereka yang keberadaannya dapat kunilai saat ini: Pjetyka, Bohus, dokter itu, dan semua yang lain. Dan, untuk pertama kalinya sekarang aku berpikir tentang mereka dengan sedikit sesal sekaligus rasa sayang.

Baiklah, tak perlulah melebih-lebihkan persoalan, karena kesulitan yang kuhadapi sekarang persis ada di hadapanku: bahwa aku berada di sini, dan aku tahu sepenuhnya bahwa aku harus membayar harga mengapa aku diizinkan hidup. Ya, ketika kurasakan petang yang lembut di alun-alun ini, di atas jalan yang sudah diempas badai, tapi sekaligus penuh seribu janji, rasa siapku sedang tumbuh, mulai bertumpuk dalam diri. Aku harus melanjutkan hidup yang tak dapat lagi kulanjutkan ini. Ibu menantikanku. Tentu ia akan bahagia melihatku. Kasihan dia. Aku ingat bagaimana dia dulu ingin aku jadi insinyur atau dokter atau sesuatu seperti itu. Tentu saja itu yang diinginkannya. Tak ada kemustahilan yang tak dapat ditembus (lolos selamat?), tentu saja, dan semakin turun ke jalan, sekarang aku tahu, kebahagiaan menantikanku seperti perangkap yang menjebak. Juga di belakang sana, di bawah bayang cerobong-cerobong pembakaran itu, ketika sebentar saja rasa sakit itu berhenti menusuk, ada sesuatu yang mirip dengan yang disebut kebahagiaan. Setiap orang akan bertanya padaku tentang penderitaan, "teror dari kam-kam konsentrasi", tapi bagiku, kebahagiaan justru selalu jadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Barangkali. Ya, itu yang akan kuceriterakan pada mereka, nanti kalau mereka bertanya padaku: kebahagiaan di kam-kam pembantaian itu.

Jika memang mereka sampai hati bertanya.

Dan jika aku belum lupa.

-----------------------------------------------

(Diterjemahkan oleh PRASETYOHADI)

Imre Kertész lahir di Bupadest, Hungaria, 1929. Sebagai orang Yahudi, peraih hadiah Nobel Sastra 2002 ini dideportasi ke Auschwitz (Polandia) dan Buchenwald (Jerman), 1944. Novelnya Fiasco (1988) dan novel Kaddish for a Child not Born (1997) umumnya dipandang sebagai trilogi bersama dengan novelnya yang pertama Fateless yang sebagian diterjemahkan di atas (Illinois: Northwestern UP, 1992, hlm183-191).

CATATAN:

- Bintang segi tiga sama sisi bertumpuk warna kuning, bintang Nabi Dawud, menjadi lambang pengejaran dan pembunuhan terhadap orang Yahudi di Jerman. Setelah Perang Dunia II mulai, para penguasa fasis memaksakan penyematan lencana Bintang Kuning pada lengan kanan orang Yahudi, mulai yang berumur 10 tahun, yang sedianya hendak dipekerjakan secara paksa atau dibunuh.

- Tanggal itu warga Yahudi Jerman dan Austria mulai dideportasikan ke dalam berbagai ghetto di Eropa Timur.

- Panah Bersilang adalah lambang partai fasis Hungaria yang melaksanakan keputusan Nazi Jerman melakukan holocaust.

- Catatan sejarah menyebutkan, Januari 1942, polisi Hungaria membantai sekitar 3.500 orang; 800-an di antaranya orang Yahudi. Mereka membuang ribuan mayat begitu saja di sungai Danube di bagian Hungaria.

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search