Friday, August 07, 2009

Rendra, Sang Kepala Suku Naga

Sepuluh tahun lalu saya berbincang-bincang semalam suntuk dengan Rendra di padepokan Bengkel Teater di Citayam, Depok, Jawa Barat. Saat itu dia sedang menyiapkan pementasan drama Suku Naga, dua puluh tiga tahun setelah karyanya itu dipentaskan pertama kali di TIM.

Itulah terakhir kali saya ngobrol begitu lama dengannya, dari menjelang malam hingga Subuh menjelang. Kami berbincang-bincang ke mana-mana. Dia bicara dari teater sampai puisi, dari politik sampai ekonomi, dari sejarah tahu-tempe hingga kebudayaan. Sesekali kami makan pisang goreng yang dihidangkan Ken Zuraida.



Kenangan itu berkelebat ketika saya mendengar kabar bahwa Rendra meninggal dunia pada Kamis malam, 6 Agustus 2009, sekitar pukul 22.10 WIB di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok. Ia meninggal dalam usia 73 tahun. Menurut Maryam Supraba, 31 tahun, salah satu anak Rendra, almarhum meninggal karena penyakit jantung.

Selamat jalan, Rendra.
---------------

(ADIL, edisi 01, 1998)

Pentas Suku Naga
Nostalgia dari Wonoroto

Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan.

Jakarta, 1974.

Bendera Bengkel Teater Rendra (BTR) berkibar-kibar memarakkan dunia teater negeri ini. Beberapa pentas dan pengulangan pentas seperti Antigone, Qasidah Barzanji, dan Oedipus Berpulang; menandai kebesaran kelompok ini. Namun, beberapa kali pentas mereka gagal. Beberapa disebabkan oleh campur tangan aparat.

Di Ketanggungan Wetan, Yogyakarta, pasukan kecil BTR belajar dan diskusi dengan para dosen UGM seperti YB Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Dick Hartoko. Dari seorang staf ahli PBB yang diperbantukan di UGM, mereka belajar metode penelitian yang membuahkan rencana meneliti di Desa Wonoroto.

Yogyakarta, awal 1975

Sekitar 22 orang awak BTR berkemah di kebun Jambu, di perbatasan desa Wonoroto, dekat pantai Parangtritis. WS Rendra mengatur pembagian kerja; investigasi tentang adat kehidupan masyarakat desa. Di bawah tekanan berbagai pihak, mereka akhirnya bisa bersahabat dengan masyarakat.

Selama dua minggu berkemah, mereka turut menanam vanili bersama penduduk setempat. Melalui pembauran dengan masyarakat desa, mereka menyerap karakter berbagai tokoh. Walhasil, catatan-catatan mereka cukup kaya. Masalah sosial, politik, dan lingkungan hidup menginspirasikan banyak hal. Sebuah embrio Kisah Perjuangan Suku Naga mulai tumbuh.

"Kita akan bikin drama tentang dukuh," kata Rendra waktu itu. Dan dimulailah persiapan pentas Suku Naga. Rendra mendiktekan peran dan ucapan setiap lakon secara bertahap. Untuk berbagai peran, WS Rendra mendiktekan langsung kepada calon pemainnya. "Bagian tertentu saya diktekan untuk Adi Kurdi, sebagian lain untuk Sitoresmi..." kata Willy--begitu WS Rendra biasa dipanggil--mengenang proses penciptaan lakon itu.

Suasana masih tegang. Para pemain berlatih dan menghapal naskah secara diam-diam. Kekhawatiran terhadap ancaman gagal pentas masih terasa. Mereka ingat bagaimana Rendra saat berperan sebagai Creon dalam Antigone nyaris dibawa aparat di tengah pertunjukan berlangsung.

Jakarta, Juli 1975

Seperti sudah diduga, pertunjukan Suku Naga di Teater Terbuka TIM berjalan tersendat. Aparat keamanan menuntut pementasan ditunda. Sementara Dewan Kesenian Jakarta dan BTR bertahan. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo mengizinkan pentas, tapi setelah 17 Agustus. Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin, bertahan untuk tetap mementaskan. Apa boleh buat, Ketua DKJ Wahyu Sihombing pun jadi "jaminan" dan dibawa ke Komdak selama pementasan dua hari itu.

Saat itu setahun lebih Malari berlalu. Rumah Sakit Harapan Kita milik Tien Soeharto baru hendak didirikan. Kabar penggusuran penduduk untuk Proyek Bendungan Asahan di Sumatra Utara sedang hangat-hangatnya. Kegerahan dan kegeraman terhadap masalah itu berubah menjadi makian di warteg. Saat itulah Suku Naga mengumbar kritik pedas terhadap segalanya.

Melihat kesuksesan di Jakarta, Suku Naga diusung ke Bandung dan Surabaya pada tahun yang sama. Sementara pentas di Yogyakarta baru berlangsung tiga tahun berikutnya. GOR Kridosono membludak selama dua hari pertunjukan. "Karcis yang terjual tidak sebesar jumlah penontonnya, karena banyak yang merasa dirinya warga Bengkel juga, jadi enggan masuk dengan karcis," tutur anggota Bengkel Edi Haryono.

Jakarta, September 1998

Saat gladi resik (28/9) Adi Kurdi kehilangan suara. Rendra panik. Tapi the show must go on, dan untungnya tak ada kesulitan berarti yang menghalangi.

Maka berceritalah Sang Dalang (Dewi Pakis); Kepala Suku Naga Abisavam (Adi Kurdi) dan rakyatnya menghadapi tekanan Ratu Astinam (Ken Zuraida) dan anak buahnya yang hendak mengubah kampung Suku Naga menjadi kota pertambangan. Sang juta-juta-jutawan The Big Bos (Sawung Jabo) lewat duta Mr. Joe (Otig Pakis) hendak mengeruk tembaga dari kampung Suku Naga. Rakyat Suku Naga dengan dibantu wartawan luar negeri Carlos (Kurt Kaler) berupaya mempertahankan adat, tanah, dan masa depan dan peradaban Suku Naga.

"Saya melihat drama ini masih relevan, karena kekuatan dari bentuk drama itu adalah amsal; amsal dari suku naga, penindasan, mesin industri, hubungan adikuasa dan negara berkembang, dan amsal dari negara totaliter," ujar Rendra tentang pengulangan pentasnya ini.

Selain relevansinya, juga lantaran dia menghendaki keaslian (otentisitas) naskahnya tetap terpelihara. Makanya, tak ada perubahan besar dari naskah asli yang dimainkan tahun 1975. Tata panggungnya tetap sederhana. Hanya kostum pemainnya yang lebih bagus daripada pementasan tahun 1975 yang seadanya.

Musiknya yang digarap Dedek Wahyudi dan para pemusik jebolan STSI Yogya memberi sumbangan besar bagi ritme dan nuansa pementasan. Apalagi Dedek yang mengandalkan instrumen gamelan ini mampu memberi sentuhan pop, blues, keroncong, sampai lagu dolanan anak. Jangan heran bila terdengar kepingan melodi Roots to Branches milik Jethro Tull atau Jaranan, satu judul lagu dolanan bocah-bocah di pedesaan Jawa.

Sayang penonton tak sempat menyaksikan permainan Rendra. Malam itu, dia tak bermain. Tapi penonton cukup antusias menyambut kemunculan Adi Kurdi, Kurt Kaler, dan Ken Zuraida.

Harus diakui, keaktoran Adi masih hebat. Dan ia tak sendiri. Otig yang bergabung BTR sejak 1983 juga bermain bagus. Sementara aktor muda Daryanto Bended (Abivara) mulai unjuk gigi. Sayang Sawung Jabo dan Dewi Pakis tak terlalu mulus bermain.

Pementasan Perjuangan Suku Naga kali ini bisa jadi sebuah nostalgia. Nostalgia kebesaran Bengkel Teater dan nostalgia masa lalu suram yang pernah dilalui republik ini. Segala kritik yang termuat dalam drama ini, bagi Rendra sekarang sebagai penegasan saja. "Memperingatkan kembali dari apa yang sudah terjadi," katanya.

Dan memang segalanya tetap harus diingatkan, harus dikabarkan. Langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa. Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan, sama saja. (kurniawan)

Dinasti Bengkel dalam Teater

Perkembangan sejarah teater Indonesia tak mungkin lepas dari keberadaan Bengkel Teater Rendra. Sejak berdirinya di tahun 1967, teater yang bersarang di Yogya (sekarang di Cipayung, Depok) ini cukup produktif mementaskan berbagai naskah. Sayang hingga kini awak BTR sendiri belum mendokumentasikan segala kegiatannya dengan baik.

Sumbangan terbesar yang diberikan kelompok ini adalah Teater Mini Kata yang diciptakan Rendra dan pengolahan seni pertunjukan rakyat ke dalam bentuknya yang lebih modern. Olah gerak dan meditasi menjadi basis latihan dasar berteater mereka. Disiplin berteater ini nyatanya membuahkan hasil. Banyak alumni BTR yang sukses berkarir di luar kelompok ini.

Bila kita menyebut beberapa kelompok teater yang ada di bumi nusantara ini, sebagian besar dari mereka adalah jebolan Bengkel. Sebutlah Teater Adinda dan Bengkel Deklamasi (Jose Rizal Manua), Teater Mandiri (Putu Wijaya), Teater Satu Merah Panggung (Ratna Sarumpaet), Bela Studio (Edi Haryono), dan Teater Gerak (Sawung Jabo). Sebagian besar kelompok ini masih aktif, bahkan masih menentukan denyut nadi perteateran Indonesia. Sementara nama-nama seperti Chaerul Umam, Adi Kurdi, Arifin C. Noer, dan penari Sardono W. Kusumo cukup kita kenal kiprahnya dalam berbagai media.

BTR kemudian lebih mirip padepokan yang punya banyak cantrik. Ketika para cantrik itu merasa sudah cukup nyantrik-nya, maka mereka pun berkiprah keluar, mengembangkan dirinya sendiri. Hasilnya mereka menjamur mewarnai matra kesenian republik. Sementara Bengkel sendiri relatif tak lagi sebesar dulu. Cantrik-cantriknya malah mengambil alih peran itu.

Rendra bukanlah mahaguru yang punya Bengkel-isme, karena setiap cantrik punya gaya dan konsep berteater sendiri. Tampaknya tak ada suatu kekhasan BTR yang terus mewarnai gaya para cantriknya. Entah kalau nanti ada sebuah penelitian luas tentang Bengkel dan alumni-alumninya yang menghasilkan kesimpulan berbeda. Rendra sendiri menyatakan, "BTR justru menjaga keragaman yang dibawa oleh masing-masing awaknya."

Dinasti BTR --kalau boleh disebut begitu-- telah memberi sumbangan besar dalam kehidupan berteater. Dinasti lain adalah dari garis Teater Populer Teguh Karya. Kedua dinasti inilah yang terus menyemangati dunia teater, dunia yang sama sekali tidak basah secara ekonomi dan tidak populer secara politik. Toh mereka terus bertahan hidup. (Kurniawan/wwb)

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search