Wednesday, October 07, 2009

Buket Biru oleh Octavio Paz


Tak ada masyarakat tanpa puisi, tapi masyarakat tak pernah bisa dipahami sebagai puisi, karena dia tidak puitik. Kadangkala dua istilah itu berusaha bercerai, tapi tak bisa.

Octavio Paz Lozano (31 Maret 1914-19 April 1998) adalah pengarang dan diplomat Meksiko yang menjadi pemenang Nobel Sastra pada 1990. Semula dia penganut komunisme, lalu berubah menjadi kiri demokrat "liberal".

Berikut ini salah satu cerita pendeknya yang dimuat di Minggu Pagi No. 16 Th. 55 Minggu III, Juli 2002.




Buket Biru


AKU MANDI keringat ketika bangun. Lantai kamarku segar bercahaya dan uap hangat naik dari lantai merah. Seekor ngengat terbang mengitari lampu, tertarik pada cahayanya. Aku turun dari hammock dan berjalan telanjang kaki melintasi kamar, berhati-hati agar tidak menginjak kalajengking yang keluar dari persembunyiannya untuk menikmati dinginnya lantai. Aku berdiri di dekat jendela untuk beberapa menit, menghirup udara dari halaman dan mendengarkan desah malam yang feminin. Aku lalu berjalan ke washstand, mengucurkan air ke baskom dan membasahi handuk. Aku mengusap dada dan kakiku dengan kain basah itu, mengeringkan tubuhku, dan kemudian berpakaian setelah memastikan pakaian itu tidak ada kutunya. Aku kemudian menuruni tangga yang dicat hijau dan secara tak sengaja menjumpai pengelola hotel di pintu. Sebelah matanya buta, dia tampak muram dan pendiam, duduk di kursi, menyedot rokok dengan matanya setengah berpejam.

Kini dia mengintip aku dengan matanya yang masih baik. "Akan kemana, senor?" tanyanya dengan suara parau.

"Jalan-jalan. Terlalu panas untuk terus tinggal di kamar!"

"Tapi sekarang semuanya tutup. Dan kami tidak punya senter. Lebih baik senor tidak pergi"

Aku mengangkat bahu, dan mendesis, "Saya akan kembali," lalu melanjutkan langkah dan masuk ke kegelapan. Semula aku tidak dapat melihat apa pun. Aku berjalan dengan meraba-raba sepanjang jalan-setapak dari batu. Aku kemudian menyalakan rokok. Tiba-tiba bulan keluar dari awan gelap, menyinari dinding yang putih. Aku berhenti di tengah jalan, terbutakan oleh cahaya putih. Angin sepoi-sepoi menggerakkan udara dan aku dapat mencium bau pohon-pohon asam. Malam bergumam dengan suara pepohonan dan serangga. Jengkerik-jengkerik aman tinggal di sela-sela rerumputan yang tinggi. Aku menaikkan mataku: di atas bintang-bintang juga berhenti. Aku berfikir, sebenarnya seluruh jagatraya adalah sistem besar dari tanda tanda, satu percakapan di antara makhluk hidup. Gerakan-gerakanku sendiri, suara jengkerik, kedip bintang, hanyalah jeda-jeda dan silabel, fragmen-fragmen dari dialog. Aku hanyalah sebuah silabel, hanya sebuah kata. Tapi kata apakah itu? Siapa yang mengutarakannya? Dan kepada siapa? Aku melemparkan rokokku ke samping jalan. Rokok itu jatuh dalam lengkungan, melepaskan percik-percik apinya seperti komet mini.

Aku terus berjalan, pelan-pelan, untuk beberapa lama. Aku merasa aman dan merdeka, karena bibir-bibir besar itu menyebutkannya dengan begitu jelas, begitu menyenangkan. Malam adalah sebuah taman mata.

Ketika aku kemudian melintasi jalan, aku tahu seseorang keluar dari pintu. Aku menoleh dan melihat sekeliling, tapi aku tidak melihat apa-apa. Aku mulai berjalan lebih cepat. Beberapa saat kemudian, aku dapat mendengar langkah-langkah sandal di atas batu-batu hangat. Aku tidak ingin menoleh, meski aku tahu bayangan itu terus menguntitku. Aku berusaha lari. Tapi aku tak dapat. Lalu aku berhenti mendadak. Dan sebelum aku dapat mempertahankan diri, aku merasa sebuah pisau telah ditempelkan ke punggungku, dan sebuah suara lembut berkata: "Jangan bergerak, senor, atau anda akan mati!"

Tanpa memalingkan kepala, aku bertanya: "Apa yang kau inginkan?"

"Mata anda, senor!". Suaranya sungguh aneh, lembut, hampir-hampir membuatku bingung.

"Mataku? Apa yang akan anda lakukan terhadap mataku? Lihat, aku punya sedikit uang. Tidak banyak, tapi cukup berharga. Saya akan memberikan apa saja yang saya miliki, kalau anda membiarkan saya pergi. Jangan bunuh saya!"

"Anda tidak perlu takut, senor. Saya tidak ingin membunuh anda. Saya hanya menginginkan mata anda!"

"Tapi untuk apa mata itu?"

"Ini ide kekasih saya. Dia ingin memiliki sebuah buket mata biru. Di sekitar sini tak cukup banyak orang yang bermata biru"

"Mata saya tidak begitu bagus. Dan lagi tidak biru. Mata saya coklat muda"

"Tidak, senor. Jangan coba menipu saya. Saya tahu mata senor biru!"

"Tapi kita kan penganut Kristen, sobat! Anda tidak bisa begitu saja mencungkil mata saya. Saya akan memberikan pada anda apa saja yang saya miliki"

"Jangan begitu memilih!" suaranya kini kasar. "Balikkan badan!"

Aku membalikkan tubuh. Dia ternyata pendek dan ramping, dengan topi sombrero menutupi setengah mukanya. Dia memiliki machete (sejenis pisau) panjang di tangan kanannya. Kerlap machete itu jelas karena cahaya bulan.

"Terangi mukamu dengan korek!"

Aku menyalakan korek dan mengangkatnya di depan wajahku. Cahaya korek itu dekat dengan mataku dan dia mengangkat pelupuk mataku dengan jari-jarinya. Dia tidak dapat melihat dengan jelas, jadi dia berdiri jinjit dan menatapku dengan tajam. Korek itu membakar jari-jariku dan aku lantas membuangnya. Dia diam untuk sementara.

"Kau yakin sekarang? Bukan biru kan?"

"Anda sangat pandai, senor!" katanya. "Nyalakan lagi korek!

Aku menyalakan lagi korek dan mendekatkan pada mataku.

Dia merenggut lengan bajuku. "Berlutut!"

Aku berlutut. Dia menjambak rambutku dan menariknya ke belakang. Dia kemudian menjulurkan tubuh ke atasku, memperhatikan dengan intens, dan pisau itu makin dekat dan makin dekat saja, sehingga menyentuh pelupuk mataku. Aku menutup mataku.

"Buka!" perintahnya. "Lebar-lebar!"

Aku membuka mataku lagi. Api korek itu menghanguskan bulu mataku.

Tiba-tiba dia pergi. "Bukan. Bukan biru. Maafkan saya!" dan dia lantas menghilang.

Aku bersandar ke tembok dengan kedua tangan menutup wajahku. Kemudian aku bangkit dan lari melewati jalan-jalan tak terpelihara, hampir satu jam lamanya. Ketika aku akhirnya sampai di plaza, aku melihat pengelola hotel masih duduk di pintu. Aku masuk ke hotel tanpa bicara dengannya. Hari berikutnya, aku meninggalkan tempat itu!

*** Judul asli: The Blue Bouquet, dalam Contemporary Latin American Short Stories, diedit Pat McNees Mancini, 1974. Diterjemahkan secara bebas oleh Israk AM

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search