Tuesday, October 06, 2009

Kebohongan by Nawal el-Sadawi

Nawal el-Sadawi adalah seorang sastrawan wanita Mesir yang karya-karyanya telah mampu menembus batas-batas dunia. Tulisan-tulisannya sebagian besar mengangkat persoalan-persoalan perempuan (feminis). Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Seperti: Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang Penguasa, Memoar Seorang Dokter Perempuan, serta Catatan dari Penjara Perempuan

Berikut ini salah stu cerita pendeknya yang pernah dimuat Republika hampir satu dekade lalu.





Kebohongan


Tiba-tiba saja ia menjadi telanjang bulat.

Dia tidak tahu, bagaimana dia melepas pakaiannya. Tetapi yang jelas, dia ingin menaruhnya di depan yang ada, di depan seseorang yang telanjang. Menurutnya, telanjang dapat menjamin kedekatan hubungan antara dirinya dengan perempuan. Kesabaran tidak akan pernah kembali. Masa kini merupakan tantangan sementara masa depan tidak pernah ada jaminan. Waktu juga tak akan pernah kembali lagi. Masa mudanya telah berlalu dan kini usianya hampir melewati 40 tahun, tenaganya menjadi berkurang, dan seringkali badannya menjadi lemah pada saat semangatnya menyala-nyala.

Dia berbicara tentang berbagai hal, dengan tema yang amat luas. Mungkin ilmu pengetahuan, politik, atau filsafat. Sedangkan di depannya duduk seorang perempuan dengan memakai gaun baru. Pandangan perempuan itu tidak menggoda, menggairahkan dan tidak berbau seksual, selayaknya perempuan-perempuan pemalu. Sebaliknya, tatapan mata perempuan tersebut membuat lelaki itu membuang jauh-jauh segala keinginannya. Sebuah tatapan mata yang amat sadis dan tajam sebagaimana usaha yang kita lakukan untuk mengusir rasa sakit, kematian ataupun segala penderitaan dari diri kita, agar ia tidak membinasakan kita.

''Kita adalah orang-orang yang berjalan menuju kematian, baik itu kita inginkan atau tidak,'' katanya dalam hati saat dia memandang dirinya telanjang di depan cermin. Dua puluh tahun lamanya dia hidup bersama ibu dari kelima orang anaknya. Seorang istri yang taat, pemalu, suci, mencintai dengan tulus, serta bertubuh mulus.

Dia memalingkan wajahnya dari cermin. Kedua bola matanya menatap bulu dadanya yang seperti dada kera, lalu pada perutnya yang buncit seperti perut perempuan hamil. Dia tidak pernah menyangka bahwa perutnya akan sebesar itu. Setiap hari, tanpa terasa sedikit demi sedikit perutnya semakin membesar. Celananya terasa makin menyempit, kira-kira satu atau setengah milimeter. Tetapi dia menjadi gemuk. Ukuran itu menjadi semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Sehari, seratus hari, seribu hari, dan begitu terus-menerus sampai dua puluh tahun.

Perempuan itu duduk sambil memegang buku. Ia tahu bahwa lelaki yang duduk di kursi dengan penuh wibawa itu sedang berbicara. Dari mulutnya selalu keluar kata-kata yang tak putus-putus, seolah-olah dia sedang mengunyah air liurnya kemudian diludahkan menjadi huruf-huruf yang memanjang seperti air bah yang mengalir atau benang panjang yang terjuntai dari mulutnya, tidak habis-habis dan tidak putus-putus; kadang-kadang berbelok-belok dan kacau balau seperti kepompong. Kadang ada satu huruf yang dapat melepaskan diri dari kehendaknya dan terbang di udara seperti embun atau gelembung-gelembung air yang tak pernah jatuh di atas sesuatu yang membawanya.

Perempuan itu mendiamkannya. Dia bukan tamu biasa. Dia adalah teman lama suaminya, bahkan persahabatan mereka lebih lama dari usia pernikahannya dan lebih lama dari perkenalan suaminya dengan siapa pun. Dia adalah seorang lelaki terpelajar. Perempuan itu dapat mengetahuinya dari raut muka serta kerutan-kerutan otot lehernya, dan kalung yang melingkar kuat di lehernya, seolah-olah tak akan dilepas dan tak akan mungkin terlepas untuk selamanya. Sepertinya kalung itu selalu dipakainya, baik saat terjaga maupun sedang tidur. Bahkan seolah-olah dia dilahirkan dengan memakai kalung tersebut. Jaketnya mempunyai dua deret kancing. Celananya yang ketat dikancingkan dengan kuat sembari merapatkan kedua betis dan lututnya bagai duduknya seorang gadis pemalu ataupun gadis perawan. Ya, dia mempunyai kemuliaan seorang lelaki yang selamanya tidak akan pernah menampakkan bahwa dirinya pernah melepas pakaiannya atau pakaiannya dapat dilepas saat dia menginginkannya.

Dia tidak mempunyai rumah, sehingga ketika suami perempuan itu tidak ada, dia menjadi gelisah. Perempuan itu meninggalkannya saat dia berbicara di kursinya. Lalu dia melakukan segala yang dia inginkan, kadang menulis, kadang membaca. Ketika sebuah pena jatuh dan menggelinding ke bawah lemari, ia berjanji untuk mengambilkannya. Perempuan itu tidak berteriak saat rok mininya tersingkap dan ia kelihatan telanjang dari belakang. Lelaki itu tidak mungkin melihatnya. Dan saat dia memandang, maka pandangannya adalah tatapan yang sopan dan terdidik. Pandangan itu turun ke tubuhnya dengan tenang dan tanpa gelora seperti udara, sehingga kejadian itu terus berlanjut. Akan tetapi perempuan itu tidak merasa cemas, bahkan mungkin ia terhipnotis, hingga ia lupa memutar radio.

Dia berdiri membelakangi perempuan tersebut. Perempuan itu duduk di kursi rendah yang ada di depannya. Kedua pahanya mengangkang, sehingga sebagian pahanya kelihatan dengan jelas. Posisi duduk seperti itu merupakan gaya duduk wanita modern yang memamerkan pahanya. Tanpa terkontrol lagi mata lelaki itu menatap di antara keduanya sampai ke pangkalnya dengan mudah. Kemudian lelaki itu mengalihkan pembicaraan dari masalah politik internasional ke pokok permasalahan, fatalisme dalam agama. Saat dia berbicara dengan keras, otot-otot lehernya menegang, suaranya menjadi terdengar aneh. Hal itu terjadi saat dia berbicara dengan suara tinggi yang dibawa oleh budaya modern. Dia merasa dadanya sesak, tetapi suaranya menggema di dalam ruangan yang mempunyai perlengkapan modern itu. Sambil menikmati suaranya, ia menggerak-gerakkan potongan-potongan kain (korden) yang berada di atas jendela, yang menggelitik telinganya dengan lembut. Ketika dia mengucapkan kata-kata, dia selalu merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Buku itu masih berada di tangannya. Pandangannya selalu tertuju pada garis yang ada dalam salah satu halaman. Kedua bola matanya tak pernah bergerak dari satu kata ke kata yang lain. Perempuan itu menyukai buku, tetapi ia tidak suka membaca. Kedua bola matanya tetap berjalan dari atas garis menuju kuku-kukunya yang panjang, keperakan dan diraut seperti parang. Menelusuri kelembutan kertas dan kelentikan ujung-ujung jarinya, ia merasakan hubungan emosional antara dirinya dengan kebudayaan.

Dia masih berdiri membelakangi perempuan tersebut. Perempuan itu tidak mengangkat wajahnya setelah membaca buku itu. Semua itu terjadi saat suaranya terputus. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya ke arah radio. Sesaat kemudian ruangan itu penuh dengan suara bacaan Alquran yang merdu. Barangkali acara-acara yang lain memang tidak ada yang menarik, iklan misalnya, atau cuplikan musik. Kadang ia bergeser dari tempatnya. Sedangkan lelaki itu, walaupun bacaan Alquran dan suara-suara yang merdu tersebut telah berlalu dan dari depannya, dia tetap berdiri di tempatnya semula dan tidak bergerak.

Musim hujan, hari terakhir bulan Januari. Walaupun dia berada di balik jendela yang kuat, akan tetapi gelombang udara dingin tetap menerpa tulang punggungnya. Dia berpikir sejenak untuk menjulurkan tangannya, memungut sesuatu dari pakaiannya yang terinjak. Namun dia takut untuk bergerak, untuk memalingkan pandangannya sebelum bacaan ayat-ayat suci itu selesai. Dia hanya bisa menatap sedih karpet Inggrisnya yang mahal, yang menyebarkan kehangatan di lantai, dan ke arah medali yang ada di sampingnya, dengan talinya yang kuat lagi berharga, dan ujungnya yang panjang dan bersinar, yang terbuat dari benang emas. Dia memandang sekitarnya hingga dia hampir menyentuh sesuatu, yang di sana terdapat celana katunnya yang kasar dan besar sehingga memperlihatkan bahwa perutnya buncit dan pahanya besar. Dia mempertontonkan keduanya tanpa belas kasihan, tanpa rasa malu, dan tanpa menjaga kesopanan.

Bacaan Alquran itu telah selesai. Dia mulai bergerak. Dia berpikir bahwa gerakan lengan adalah gerakan yang paling cocok daripada gerakan yang lain. Barangkali dia benar-benar menggerakkan lengannya, karena rambut rambut tebal yang berada di bawah ketiaknya menjadi tampak jelas oleh mata. Tetapi gerakan tersebut tidak membuat perempuan itu beranjak. Ia masih tetap duduk sambil membaca buku, sedangkan duduknya yang mengangkang membuat sebagian pahanya terlihat jelas, sebuah kebiasaan wanita modern saat asyik membaca. Hal itu merupakan kenikmatan hakiki bagi seorang yang terpelajar. Namun lelaki itu tidak pernah menyangka atau memikirkan sama sekali bahwa keasyikan yang datang dari nurani atau kebudayaan itu dapat memperdaya seorang perempuan dan lelaki yang telanjang. Kedua telinganya mendengar suara orang membaca. Spontan ia mengulurkan tangannya dan memutar knop radio karena ketakutan, dan terdengarlah suara seperti guruh, yang menyiarkan siaran berita. Barangkali andaikata ia sendirian, ia akan mengulurkan tangannya sekali lagi dan memutar knop tersebut. Namun ia tahu bahwa lelaki itu duduk di kursi. Sebuah kalung terikat dan tergantung di lehernya. Bagian atasnya terdapat kotak kuat yang terkunci dengan dua deret kancing. Kedua betisnya merapat dan saling bersentuhan dengan penuh kesopanan, sebuah kebiasaan yang dilakukan lelaki modern ketika mendengarkan berita. Dengan sembunyi-sembunyi, pandangan matanya menyusuri garis yang ada di atas tangan halus perempuan tersebut, sementara kedua lengan lelaki itu masih terus memperlihatkan rambut-rambutnya yang kumal, sehingga membuatnya teringat waktu memotong rambut.

Lelaki itu mulai merasa kebingungan. Apa yang akan ia lakukan untuk melepaskan perempuan tersebut dari keasyikannya. Kemudian dia menaruh jari-jarinya di mulutnya untuk bersuit, seperti yang pernah dia lakukan waktu kecil ketika bermain dengan telanjang bulat di kampung. Dia menaruh jari-jarinya di mulut, tetapi dia tidak bersuit. Otot-otot mulutnya tidak mampu lagi mengeluarkan suara-suara negatif. Dia masih berdiri, membisu, sambil telanjang seperti patung. Tiba-tiba kebisuan merangkak di ruangan tersebut. Aliran listrik terputus, dan ia mengangkat kepalanya dari buku ketika ruangan itu menjadi gelap gulita. Mereka hampir bertabrakan saat perempuan itu berjalan menuju perpustakaan, seandainya ia tidak melangkah kembali ke belakang. Ketika ia kembali pada buku-buku yang lain, aliran listrik telah normal kembali dan lelaki itu telah kembali duduk di kursinya dengan seluruh pakaian dan kewibawaannya.

Alibahasa: Ahmad Qomaruddin
Sumber: Republika, 26 Maret 2000

No comments:

Post a Comment

Searching...

Custom Search